Mohon tunggu...
Dede Kurniawan
Dede Kurniawan Mohon Tunggu... profesional -

Penggemar Arsenal dan teman orang-orang baik. @dekurisme on Twitter :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penerapan Politik Etis & Relevansinya di Era Ke-kinian

31 Oktober 2011   17:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:13 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Ulasan Bab 14 ; “Zaman Penjajahan Baru” Buku “Sejarah Indonesia Modern” Karya  M.C. Ricklefs)

Permulaan abad ke-20 ada trend baru pada kebijakan penjajahan, dorongan pada “balas budi”-nya negara penjajah pada negara jajahan melahirkan kebijakan yang dinamakan “politik etis”. Ricklefs mengungkapkan jika politik etis itu akarnya merupakan dorongan pada masalah kemanusiaan sekaligus keuntungan ekonomi. Penjelasan lanjut mengenai keterhubungan antara masalah kemanusiaan dan keuntungan ekonomi bisa dilihat bagaimana investasi Belanda maupun internasional di Indonesia dalam mengekplorasi bahan-bahan mentah membutuhkan tenaga-tenaga kerja sehingga perlu dihadirikannya pendidikan untuk menunjang kualitas sumber daya manusia.

Indonesia di tangan penjajah pada abad ke-20 dijadikan sebagai salah satu “lahan basah” pemuas kebutuhan ekonomi dunia. Ada dua komuditas utama yang diekplorasi kala itu ; minyak bumi dan karet. Sekitar tahun 1860-an, Belanda berhasil menemukan kandungan minyak bumi di daerah Sumatera Utara, tepatnya di Langkat. Ekplorasi minyak bumi kemudian menyebar di tempat lain di bumi nusantara, tepatnya di bumi Kalimantan Timur pada tahun 1897 oleh gabungan perusahaan Belanda yang dimodali Inggris yaitu Shell Transport and Trading Company. Kemudian menyusul pada tahun 1920-an perusahaan-perusahaan Amerika Serikat setelah mendapat konsensi-konsensi besar, perusahaan tersebut diantaranya adalah Caltex (California Texas Oil Corporation) dan Stanvac (Standard Vacuum Oil CO.). Pada tahun 1930-an, perusahaan Jepang pun tak mau ketinggalan dalam mengekplorasi minyak bumi Kalimantan Timur dengan berdirinya Borneo Oil Company di Kutai.

Komoditas utama kedua adalah karet. Pada tahun 1864, pohon karet ficus elastica dijadikan sebagai tanaman perkebunan di Jawa Barat dan pesisir timur Sumatera. Akan tetapi pemerintah kolonial justru melakukan percobaan penanaman pertama dengan karet impor hevea brasiliensis pada tahun 1900-an dan percobaan tersebut berhasil. Pada tahun 1930 sekitar 44 % tanah perkebunan di Indonesia ditanami karet, hasil karet Indonesia kala itu mampu memenuhi hampir separuh dari kebutuhan karet dunia.

Pelaksanan politik etis di Indonesia lebih menfokuskan diri pada area pendidikan, meskipun ada 3 prinsip yang ditekankan dalam implementasi politik etis oleh pemerintah Belanda yaitu ; pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk. Ricklefs mengatakan bahwa semua pendukung politik etis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia. Kebijakan politik etis dalam segi pendidikan melahirkan dua pandangan mengenai jenis pendidikan dan untuk siapa pendidikan itu difasilitasi.

Pandangan pertama lahir dari Snouck Hurgronje dan direktur pendidikan “etis” yang pertama J.H. Abendanon, yang mendukung implementasi pendidikan bersifat elitis. Pendidikan yang elitis disini adalah bagaimana pendidikan yang bergaya eropa dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan pendidikan ini difasilitasi untuk kaum elite Indonesia. Tujuannya adalah untuk menciptakan “birokrat-birokrat” yang terdidik yang bisa berterimakasih dan bersedia bekerjsama dengan pihak Belanda, memperkecil anggaran pemerintah karena dapat mengambil alih pekerjaan yang ditangani oleh “birokrat-birokrat” berkebangsaan Belanda, serta mengendalikan “fanatisme” Islam. Pandangan kedua lahir dari Idenburg dan Gubernur Jendral Van Heutsz, yang mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai pengantarnya dan untuk golongan-golongan bawah.

Kebijakan politik etis berjalan pada mulanya dibawah “kuasa” Abendanon yang menerapkan pendidikan bersifat elitis. Tidak heran jika politik etis model ini hasilnya menjadi tidak efektif, dalam sensus tahun 1930 menyebutkan orang-orang Indonesia kala itu yang sudah “melek huruf” atau  yang bisa membaca itu hanya sekitar 7,4 %. Angka ini jelas sangat parah jika dibandingkan dengan negara jajahan lain seperti Filipina yang dijajah Amerika Serikat, angka “melek huruf” di Filipina pada tahun 1939 lebih dari 15 % dari penduduknya.

Dampak dari kebijakan “politik etis” dirasa hingga saat ini, pola-polanya hampir sama hanya kemasannya saja yang berbeda. Pendidikan saat ini terpecah persis seperti saat implementasi politik etis Belanda, mereka para elite mendapatkan pendidikan yang layak sedangkan rakyat biasa  mendapatkan pendidikan ala kadarnya. Mindset bahwa pendidikan akan melahirkan tenaga terdidik bukan melahirkan pengusaha-pengusaha pribumi sampai saat ini masih tertanam kuat. Seperti apa yang dikatakan Ricklefs bahwa kekayaan Indonesia dimanfaatkan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan asing, sedangkan industri-industri pribumi tidak dikembangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun