[caption id="attachment_85586" align="aligncenter" width="201" caption=""][/caption] Seumur hidup saya menjadi siswa, baru kemarin saya merasakan bahwa belajar matematika itu bermanfaat. Buat saya yang berlatar belakang Biologi sains murni hal ini sangat signifikan sekali bagi saya. Saya jadi bertanya2 apakah seperti ini cara guru di luar negeri mengajar para siswanya pelajaran matematika? Rasanya ingin belajar semua topik matematika kembali. Lalu, apa yang saya pelajari selama saya menjadi siswa pada masa saya dulu? Ternyata dulu saya hanya belajar rumus. Ya, hanya belajar 'rules' saja, tanpa tau apa kaitannya rumus itu dengan keseharian penggunaannya. Kenapa terlambat sekali pikiran kritis ini muncul ke permukaan? Harusnya dari dulu bertanya pada guru apa makna belajar rumus dan hitungan2 yang membuat saya dan teman2 harus kerjakan tanpa tau ke depan digunakan untuk apa? Ya, saat itu yang kepikiran cuma biar bisa lulus UN dan SPMB saja sehingga kalau adik2 saya bertanya pada saya tentang matematika, yang saya pikirkan terlebih dahulu adalah rumusnya, bukan solusinya bagaimana. Dosen saya memberikan topik kuliah mengenai 'assessment' karena saya mengambil program master di bidang pendidikan sains. Berhubung mahasiswa sains disatukan dengan mahasiswa matematika, sehingga dosen kami memberikan contoh pembelajaran mengajar untuk pelajaran matematika. Materinya adalah aljabar. Beliau memberikan masalah (soal) pada kami semua dengan seragam, berlaku untuk berlatar belakang matematika dan sains. Soalnya begini; saya punya satu petak kebun yang berukuran 1m x 1m. Jika saya ingin membatasi kebun saya dengan tembok bata yang ukurannya 1m x 1m, ada berapa tembok yang dibutuhkan untuk membatasi kebun saya? Semua jadi berpikir. Beliau hanya menggambarkan satu petak kebun saja yang berukuran 1m x 1m. Lalu saya mulai menganalisa soal dan mensintesis soal tersebut dengan menggambar dan mencoba mencari solusinya sampai saya mendapatkan jumlah 8 yang dibutuhkan. Yang saya herankan adalah kenapa teman2 yang berlatar belakang matematika bahkan ragu dan tidak menjawab sama sekali. Bisa jadi mereka sudah terpatok juga dengan sistem belajar untuk menghafal rumus. Lalu beliau meluaskan lagi ukuran kebunnya sementara ukuran tembok bata yang dibutuhkan memiliki ukuran yang tetap, dst hanya ukuran kebun saja yang diubah. Beliau juga menghubungkan dengan keadaan sehari2 seperti jika kita akan memesan bata dan membuat tembok dan berapa uang yang harus kita bayarkan. Setelah itu, baru diarahkan untuk mencari pola dari soal yang diberikan, bukan rumus. Akan sangat menyenangkan sekali jika guru matematika saya memberikan pendekatan belajar seperti ini. Saya berpikir apakah ahli matematika dulunya malas sehingga mereka hanya mewariskan rumus saja kepada kita sehingga pelajaran matematika cenderung 'ditakuti' oleh siswa karena mengingat terlalu banyak rumus yang harus dihafal. Padahal jika pelajaran itu diberikan pendekatan dengan kehidupan siswa sehari2, saya yakin 100% siswa akan senang belajar dan bukan tidak mungkin mereka tidak dapat dilalaikan dengan kebiasaan2 berFB atau Twitter-an sedang pelajaran berlangsung. Ini akan menjadi PR kepada guru matematika bahwa guru yang cerdas akan mampu mencerdaskan siswanya juga, karena pada dasarnya, siswa datang ke sekolah memiliki dasar pengetahuan yang dibentuk oleh lingkungan sosial mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H