Dalam memandang sesuatu, kita lebih senang melihat yang sudah jadi dan matang. Kita seringkali melewatkan  hal-hal detil yang menjadi sebab munculnya sesuatu yang besar. Bahkan dengan lugunya kita lebih suka menunggu dipersimpangan. Padahal kita dapat mengambil bagian dalam mewujudkan sesuatu yang besar. Berjibaku di dalamnya untuk mewujudkan mahluk bernama sejarah. Tentu saja sejarah yang dimaksud belum sempurna, sejarah yang sedang berproses menemukan muaranya.
Sejarah adalah kumpulan harapan yang terserak, masih samar untuk dijelaskan. Kemampuan untuk mempertahankan visi lah yang mampu memunculkan sesuatu yang samar dimasa depan menjadi jelas. Apa langkahnya, tidak tergoyahkan oleh ego maupun kemalasan sementara, lalu lompati setiap masalah untuk mendapatkan kemampuan menghadapi sesuatu. Kegagalan melompati masalah akan membuat kita terjerat dalam lubang yang tidak pernah berdasar. Sehingga harapan dimasa depan sulit terprediksi dengan baik. Â
Sejarah seperti mempunyai mekanisme sendiri. Sejarah akan pergi berlari bagi kita yang hanya jalan bersantai-santai. Uniknya sejarah manapun di dunia ini selalu ditopang oleh ideologi dan bertumpu padanya. Sejarah yang mengharapkan uang dan jabatan, adalah sejarah picisan yang terpinggirkan dalam ingatan. Para pembuat sejarah adalah pemimpin yang muncul dalam episode kehidupan terkecil kita. Pelakunya adalah kita sendiri, hidup kita sendiri dan lingkungan sekeliling. Tidak jauh. Â
Dan setiap kita adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab sejarah. Setiap generasi mempunyai kesempatan luar biasa untuk berkontribusi. Memberikan manfaat yang besar untuk diri maupun masyarakat sekitar. Tentu saja pemimpin mempunyai sifat-sifat dasar yang harus dikenali dan dikuasai, agar nantinya tidak kalah bertubi-tubi.
Tjipta Lesmana dalam buku Kekuasaan Politik karangan Firza menjelaskan empat hal mengenai kualitas kepemimpinan yang dianggap ideal. Pertama, Pemimpin tidak suka ambiguitas, seorang pemimpin yang baik selalu jelas ucapan dan tindakannya, tidak menimbulkan ambiguitas (kebingungan) dikalangan komunitasnya
Kedua, get the things done (tidak lari dari permasalahan). Pemimpin harus memiliki sifat "get the things done." Setiap kali menghadapi masalah, ia tampil dimuka, mempunyai dorongan kuat untuk secepatnya menyelesaikan permasalahan itu. Pemimpin yang buruk adalah yang suka lari dari persoalan.
Ketiga, tidak emosional, pemimpin sudah pasti adalah manusia juga. Ia bisa marah, bisa gembira, bisa sedih, dan stress. Tapi pemimpin yang bagus adalah yang selalu mampu mengendalikan dirinya dalam situasi apapun, mampu menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya.
Keempat, selalu berfikir analitis. Pemimpin yang baik, tidak tipis telinganya, tidak mudah digosok atau dipengaruhi siapapun, dan tidak pernah mengambil keputusan berdasarkan faktor-faktor irasional. Ia selalu berfikir kritis dan analitis. Ia bukan hanya mampu melihat suatu permasalahan secara keseluruhan, tapi juga mampu mem break-down ke bagian-bagian, hingga yang terkecil. Â Â
Artinya pemimpin yang khatam terhadap tindakan kecil yang konsisten merupakan faktor yang terpenting dalam hal ini. Sehingga sejarah mampu mencatat upaya mendetilkan sesuatu mampu membidani hal yang besar. Ketika hal-hal kecil ini dilakukan terus menerus lalu dikerjakan dengan serius. Sedikit demi sedikit orang yang mengerjakan hal detil adalah dia yang menguasai persoalan.Â
Dengan mengusai persoalan pasti akan mengetahui informasi. Mendetilkan sesuatu akan memberikan pemahaman yang lebih. Tidak mustahil sejarah baru bagi organisasi dimanapun kita berada akan menghadirkan masa yang gilang gemilang. Digdaya dalam segala. Apakah kita percaya? Saya terlebih dulu akan percaya. Sebab saya tidak mau ditinggal lari sejarah. Â
Tangerang Selatan, 12 Desember 2017