Hari kemenangan akhirnya tiba juga. Kali ini seluruh rakyat muslim Indonesia yang merayakan. Tidak ada perbedaan tanggal pelaksanaan, baik dari Muhammadiyah maupun pemerintah. Akibat momentum seperti itu, di malam takbiran, justru suasana yang terasa nyaris seperti malam tahun baru. Suara kembang api menggelegar di pusat kota, nyaris mengalahkan suara takbir. Seperti biasa, pemerintah daerah mengadakan pawai takbiran sebelum idul fitri. Seluruh elemen masyarakat tumpah ruah di jalanan menikmati malam idul fitri. Elemen dinas, sekolah serta pesantren berlomba menghias kendaraan yang pemenangnya akan dibacakan saat sholat Ied keesokan harinya. Saya sendiri bersama teman-teman di malam itu, mengunjungi rumah teman-teman secara door to door satu persatu. Bersilaturahmi dengan tiap keluarganya. Lebaran kali ini terasa lebih istimewa, karena dua hari sebelumnya adalah bertepatan dengan hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Terasa pas, karena kita semua merasakan dua momental yang penting untuk direnungi, untuk direfleksi, untuk dipikirkan agar jauh lebih baik dari sebelumnya. Secara general, kita harus merefleksi terhadap bangsa dan diri sendiri, bagaimanakah kita memaknai arti kemerdekaan dan kemenangan ini.
Dalam jarak pandangan beberapa masyarakat terdekat, sudah merupakan hal yang sering dikatakan kalau memang bangsa Indonesia ini belum merdeka. Sisi sentral dan utamanya terletak pada maraknya tindak korupsi. Mayoritas pemimpin di negeri ini sudah jarang untuk doing the right things. Jika ada celah, meskipun itu kecil, akan dimanfaatkan lebih lanjut, didesain sendiri untuk keuntungan pribadi. Untuk memuluskan langkah, melicinkan tindakan-tindakan, kolusi dilakukan. Penyuapan yang dilakukan terhadap beberapa pejabat hukum yang juga integritasnya masih dipertanyakan.
Implikasi dari lancarnya proses korupsi serta kolusi di negeri ini adalah kesejahteraan rakyat yang sangat jauh dari ideal. Akibat dari krisis kepemimpinan tersebut, masih banyak rakyat belum merasakan hidup sejahtera. Dari sektor pendidikan, masih banyak rakyat kecil, terutama daerah luar Jawa sana, yang belum mampu mengenyam pendidikan. Penyalahgunaan keuangan masih marak terjadi. Saya pernah mendengar cerita dari salah seorang pengajar muda Indonesia Mengajar, Kang Junarih, bahwa pada sekolah yang dia ajar hanya memiliki satu sekolah untuk beberapa desa. Di sekolah tersebut pun hanya terdapat satu kepala sekolah yang juga sebagai guru, dan Kang Jun sendiri. Bisa dibayangkan, jika tenaga pengajarnya saja hanya sedikit, sulit untuk mendapatkan pendidikan efektif dan efisien yang ideal. Terlebih lagi, kebijakan BOS yang dikeluarkan pemerintah berupa antuan operasional untuk kegiatan sekolah kurang tersampaikan. Masih banyak siswa yang kesulitan mendapatkan buku maupun operasinal lainnya. Padahal telah diketahui bahwa anggaran pendidikan merupakan salah satu yang terbesar yang dianggarkan oleh Indonesia. Profesi guru sudah selayaknya dihargai dan dijunjung tinggi. Finlandia, yang merupakan negara dengan pendidikan terbaik memiliki satu kunci utama yang terletak pada kualitas guru yang terbaik.
Selain dari sisi pendidikan, implikasi yang terjadi juga bisa terjadi dari sisi ekonomi serta sosial budaya. Hingga kini ekonomi kerakyatan di negeri ini masih jauh dari pemerataan. Masih timbul beberapa kesenjangan yang cukup tinggi di mana-mana. Diperlukan peran yang sangat sentral dari pemerintah dalam percepatan pembangunan sentra ekonomi bawah dan menengah. Sementara itu dari sisi sosial budaya, akibat pengaruh arus globalisasi menjadikan bangsa kita menjadi kurang berkarakter, kurang national building. Nasionalisme yang digaungkan para founding fathers seolah kurang terdengar belakangan ini. Sektor ekonomi tambang serta migas semakin disusupi campur tangan asing. Inilah neokolonialisme, penjajahan modern. Apa bedanya dengan penjajahan di tahun lalu, di mana para bangsa penjajah mengeruk keuntungan sumber daya alam Indonesia secara tak terbatas. Kini, sudah sekitar 70% sektor potensial dikuasai asing. Beberapa produk yang dikonsumsi warga negara pun mayoritas merupakan produk asing. UU Migas yang terus menerus dikontroversikan, sistem konsesi pertambangan yang masih menganut dari sistem zaman kolonial, merupakan celah bagi asing untuk melakukan neokolonialisme terhadap bangsa kita.
Untuk pemecahan masalah-masalah di atas, dalam pandangan saya, harus diawali dari starting point berupa pemberantasan korupsi yang tuntas dan menyeluruh. Usaha-usaha para elemen masyarakat harus jauh dari kolusi. Terkadang, hanya untuk sebuah citra, beberapa pihak rela menyuap beberapa oknum. Begitu juga dalam pelicinan usaha lainnya, seperti dalam rekruitmen pegawai, mahasiswa maupun pelicinan prasarana. Peran KPK sebagai motor utama pemberantasan korupsi sangat penting di sini. Ia juga harus bekerja sama dengan beberapa lembaga terkait, seperti BPK yang bertugas memeriksa keuangan. Sistem hukum kita hingga saat ini masih sering mengabaikan temuan-temuan BPK. Pemberantasan korupsi terkesan kurang tuntas dan menyeluruh. Hal ini kurang menimbulkan efek jera pada pelakunya. Sebagi perbandingan, di China menerapkan adanya hukuman yang sangat tegas terhadap koruptor, yaitu hukuman mati. Mungkin hukuman tersebut mampu menjadi bahan kajian bagi para pejabat hukum dan HAM dalam menegakkan hukum yang tegas. Perlu dikaji juga mengenai gerakan pembuktian terbalik untuk tiap pejabat negara. Gerakan ini adalah membuktikan neraca keuangan para pejabat negara seperti presiden, gubernur, menteri hingga kepala daerah dari sebelum pencalonan hingga masa berakhir periode dari masing-masing, karena hingga kini masih banyak dugaan para pejabat yang kaya mendadak ketika menjadi pejabat serta para incumbent yang menggunakan anggaran negara untuk kampanye.
Namun, terhadap banyaknya permasalahan-permasalahan bangsa tersebut, kita tidak boleh begitu saja pasrah terhadap keadaan. Beberapa autokritik di atas merupakan sebuah renungan untuk gelora optimisme bangsa. Kita sebagai warga negara, harus optimis. Kalau kata Denny Indrayana sih, Indonesia Optimis. Mari kita refleksikan masalah-masalah di atas dan gabungkan dengan potensi-potensi yang dimiliki Indonesia. Sejauh mana pun kita menjelajah, Indonesia tetap tempat yang baik untuk ditinggali. Sistem demokrasi kita merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Keberagaman ras, agama, serta budaya mampu dileburkan menjadi satu Indonesia dengan atas nama persamaan sejarah dan wilayah. Harus dihilangkan primordialistik yang mengancam integrasi bangsa. Jika lingkaran setan korupsi sudah benar-benar tuntas diselesaikan, optimisme terhadap bangsa benar-benar akan terealisasikan. Sumber daya alam dikelola dengan baik oleh putera dalam negeri yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi akan merata dan berkeadilan. Pemimpin yang memiliki integritas dan hikmah kebijaksanaan. Serta suatu bangsa yang kolektif, yang gotong royong dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Mari kita jadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan menang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H