Mohon tunggu...
Dekha Anggareska
Dekha Anggareska Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Teknik Informatika ITB 2010 | @KalbuIndramayu @akumaukuliah @hmif_itb | IT, Football, Reader/Writer, Traveller, Social Movement |\r\nTwitter : @dekhangga |\r\nWebsite : http://dekhaanggareska.com/

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Meniru Sepak Bola Jerman

26 April 2013   09:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:34 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Tengah pekan ini, Liga Champions Eropa dikejutkan dengan kemenangan telak yang diraih oleh dua klub Jerman atas dua raksasa sepakbola asal Spanyol yang lebih diunggulkan. Bayern Munchen dengan tenang mengalahkan Barcelona meski kalah telak dalam hal possession, sedangkan Borussia Dortmund dengan elegan mempermalukan Real Madrid dan mempertontonkan Robert Lewandowski sebagai aktor utama yang mencetak quattrick.

Hasil tersebut bukanlah merupakan hasil yang diperoleh secara instan. Sekitar empat tahun lalu, bahkan Dortmund pernah dipermalukan Madrid dengan skor 5-0. Bundesliga dan DFB melakukan reformasi pada tahun 2002 dengan menerapkan kebijakan yaitu syarat untuk bermain di Bundesliga 1 dan 2 adalah memiliki sebuah akademi sepakbola. Akademi sepak bola ini harus memiliki minimal 12 pemain Jerman di setiap kelompok umur. Klub Bundesliga 1 dan Bundesliga 2 menghabiskan 75 juta euro per tahun untuk mengelola akademi-akademi itu. Sebanyak 5.000 pemain berusia 12-18 tahun dididik di sana, yang saat ini telah membuat jumlah pemain U-23 di Bundesliga meningkat 15 persen.

Reformasi tersebut merupakan suatu lecutan atas kegagalan yang pernah diraih mereka di World Cup 1998, seperti yang pernah saya tulis di sini (Analisis Sepakbola Jerman). Secara bertahap, sistem pembinaan tersebut mulai menunjukkan hasilnya pada 2010, ketika mereka berhasil meraih tempat ketiga. Skuad saat itu dihuni oleh sebagian pemain muda yang menakjubkan, fenomenal dan belum banyak diketahui orang, seperti Mueller, Oezil dan Khedira.

Lalu pada Euro 2012, dengan skuad rata-rata berusia sekitar 23 tahun, mereka kembali mampu mencapai semifinal. Generasi World Cup 2010 ditambah sokongan pemain muda baru seperti Marco Reus, Andre Schurrle, Matt Hummels, Mario Gotze serta Toni Kroos mampu mencuri perhatian kala itu. Permainan kolektivitas dan didukung dengan taktik brilian Joachim Loew mampu membuat kejutan dengan mengalahkan tim-tim dengan skuad yang lebih diunggulkan.

Hasil apik tersebut sudah pasti merupakan implikasi dari klub-klub Bundesliga yang mengedepankan akademinya. Jika dilihat dari kualitasnya, pemain yang diekspor dari Bundesliga memiliki nilai jual yang lebih dibanding dari yang mereka impor. Salah satu contohnya adalah Oezil dan Khedira yang diekspor ke Real Madrid serta Lewandowski yang diimpor ke Borussia Dortmund. Setelah ditempa di akademi Bundesliga, Lewandowski tumbuh menjadi penyerang yang ditakuti lawan, tentunya dengan sokongan pemain muda asal Jerman lainnya seperti Reus dan Gotze. Hasilnya dapat dilihat dari permainan UCL kemarin. Kolektivitas dan counter yang sangat apik dari anak-anak muda Dortmund mampu membungkam tim megabintang Real Madrid yang memiliki skuad lebih baik. Dilihat dari nilai, skuad Dortmund memiliki nilai hanya sepersepuluh dari skuad Madrid. Hal ini sekali lagi merupakan implikasi dari akademi sepakbola yang baik, yang diterapkan oleh DFB.

Dalam konstelasi pembinaan pemain muda, suporter memiliki hubungan yang sangat erat dalam keberjalanan sistem tersebut. Di Jerman, suporter yang notabene merupakan masyarakat Jerman sendiri dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan klub dan kebijakan-kebijakan, sehingga tidak ada entitas yang benar-benar menguasai suatu klub. Akibat hal ini, tidak ada tim seperti Chelsea atau City yang mampu mendapat sokongan dana dalam jumlah besar. Namun jika dilihat dari sudut pandang lain, kebijakan ini mampu mengurangi kemungkinan suatu tim jatuh ke tangan asing.

Di Bundesliga, harga tiket musiman dibanderol sangat murah. Untuk menonton pertandingan tim sekelas Munchen dan Dortmund hanya dibutuhkan sekitar 300 poundsterling untuk tiket terusan. Harga ini setara dengan tiket terusan Wigan Athletic yang notabene tim dengan tiket terusan termurah di Premier League. Hasil dari hal tersebut adalah Bundesliga menduduki peringkat pertama dalam hal penonton per pertandingan, yaitu sebanyak 45000, mengalahkan Premier League yang mencapai 34000.

Apakah pendapatan yang diperoleh dari tiket signifikan? Ya, karena ditambah sokongan sponsorship mayoritas dari 18 klub bundesliga memperoleh keuntungan yang besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut tak lepas dari terus membaiknya sistem pembinaan pemain muda sehingga membantu klub untuk memangkas anggaran belanja dan gaji pemain.

Selain itu, terdapat satu hal lain dari Bundesliga yang patut dicontoh, yaitu mengenai kebijakan finansialnya. Sepak bola Jerman memiliki buku panduan yang memberikan penjelasan detail tentang ketentuan mengenai likuiditas dan utang, dibanding hal lain. Hal yang paling penting dari peraturan finansial itu, boleh jadi, adalah klub harus menunjukkan bahwa mereka memperkirakan setidaknya balik modal atau mereka tak akan mendapatkan lisensi untuk mengikuti kegiatan sepak bola profesional. Sebuah kebijakan yang sangat strategis tentunya jika diterapkan di negeri sendiri.

Dengan sistem keuangan seperti itu, klub “dipaksa” menggunakan jasa pemain binaan ketimbang membayar pemandu bakat untuk mencari dan akhirnya merekrut pemain di berbagai belahan dunia, yang notabene akan memberikan beban lebih besar pada anggaran untuk transfer dan gaji pemain. Dengan pengelolaan keuangan yang baik, klub bisa menjamin kelangsungan hidupnya meski tak meraih keuntungan luar biasa atau gelar prestisius, karena bagaimanapun, terlepas dari embel-embel trofi dan pengakuan global, klub sepak bola profesional pertama-tama harus mapan dan berumur panjang karena merupakan tempat mencari nafkah.

Kemudian sekali lagi, berkaca ke sepakbola negeri sendiri, sudah seharusnya kita untuk meniru langkah-langkah serta kebijakan taktis yang dilakukan oleh DFB. Sistem pembinaan pemain muda harus diterapkan sejak sekarang sehingga kita tidak perlu lagi melakukan nasionalisasi terhadap pemain-pemain luar. Hasilnya memang tidak akan tampak dalam beberapa tahun yang dekat, bahkan Jerman pun baru menampakkan hasilnya sekitar 8 tahun. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah mencoba, tidak ada kata gagal sebelum mencoba menerapkan sistem yang terbaik. Beri ruang khusus, kebijakan yang tepat kepada setiap klub agar melakukan sistem pembinaan pemain muda yang terbaik. Talenta-talenta sepakbola kita tidak hanya tersentral di beberapa tempat saja, akan tetapi menyebar hingga ke Papua sana. Sudah seharusnya PSSI dan Kemenpora sebagai pengambil kebijakan untuk mendukung sistem pembinaan pemain muda terbaik dan menyeluruh.

Selain itu, regulasi dan kebijakan mengenai kepemilikan klub yang melibatkan suporter juga perlu dikonsiderasikan. Sebagaimana kita tahu, pasar sepakbola terletak pada suporter dan mereka mengetahui banyak hal-hal yang baik mengenai tim yang mereka dukung. Suporter perlu dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan klub. Indonesia memiliki potensi suporter yang sangat luar biasa dan melimpah. Hampir seluruh penjuru Indonesia memiliki fanatisme yang tinggi terhadap sepakbola. Jika mereka dilibatkan secara langsung, bukan tidak mungkin klub-klub akan semakin profesional dan sedikit menghindari adanya kericuhan suporter yang mewarnai pertandingan.

Kebijakan finansial pun perlu dipertimbangkan dengan menerapkan regulasi-regulasi yang memaksa suatu klub untuk menggunakan jasa pemain binaan. Dengan regulasi seperti ini, klub lebih profesional dalam membangun akademinya agar mampu mengikuti sepakbola profesional sehingga akan timbul pengelolaan uang yang baik. Dengan hal tersebut, tidak akan lagi muncul persoalan gaji yang telat dibayar dan sebagainya. Sebagaimana dikutip dari kalimat di atas, walau bagaimanapun, terlepas dari embel-embel trofi dan pengakuan global, klub sepak bola profesional pertama-tama harus mapan dan berumur panjang karena merupakan tempat mencari nafkah.

Rangkaian-rangkaian tersebut mungkin akan menampakkan hasilnya 10 hingga 15 tahun ke depan, namun jika hal tersebut dilakukan sejak dini, sistem persepakbolaan kita memiliki pijakan tersendiri untuk menjadi yang didambakan seluruh suporter se-Indonesia. Dengan sistem pembinaan pemain muda terbaik, suporter yang dilibatkan serta kebijakan finansial yang strategis, implikasi paling diharapkan adalah timbulnya pemain-pemain muda binaan klub yang membela timnas Indonesia dan memiliki skill mumpuni. Bukan tidak mungkin jika kita bisa memiliki Oezil, Mueller, Gotze serta Reusnya Indonesia. Bukan tidak mungkin Andik-Andik lain akan bermunculan dan melimpah di liga lokal yang jauh dari komersialisasi. Sehingga pada akhirnya adalah timnas kita mampu bersaing secara meyakinkan di tingkat internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun