Catatan DK (2)Â
Perkara Kamar Mandi
Sebagai seorang anak, tentu saja ingin melakukan yang terbaik untuk orangtuanya. Namun terkadang, harapan-harapan tersebut justru berbenturan dengan kenyataan yang tidak terbayangkan sama sekali.
Agustus 2018. Kulihat Abah keluar dari kamar. Jalannya tampak pincang. Dalam benakku, pasti ada yang nggak beres nih.
Spontan kuhampiri. Sambil menggenggam siku tangannya, aku bertanya gerangan apa yang terjadi. Tapi yang ada, eh, Abah malah kesakitan.
Ternyata Abah jatuh di kamar mandi. Begitu pengakuannya. Kebetulan kamar mandi (pribadi) ini berada di kamarnya sendiri.
Sejurus, aku bersama abang, membawa Abah ke tempat tukang urut (pijat). Kaki dan tangannya terkilir. Tak terbayang, apa jadinya kalau lebih fatal dari sekadar cedera kaki dan tangan. Atau, terkapar tanpa diketahui siapa-siapa. Duh, Gusti.
Semua bermula pada awal 2018. Aku dan abang memutuskan untuk bikin kamar mandi pribadi buat Abah. Tujuannya tak lain guna mempermudah Abah dalam urusan mandi dan buang hajat. Dengan begitu, Abah tidak mesti susah-susah lagi menuju kamar mandi utama (sebelah dapur) yang berjarak lima belas meter dari kamarnya.
Keputusan tersebut bukan tanpa sebab. Usia Abah sudah 87 tahun. Kondisinya makin buyutan. Langkah kakinya teramat pelan bin lambat. Alias tidak bisa ngebut lagi.
Pernah kejadian. Saking kebeletnya, Abah tak kuasa menahan pipis sewaktu menuju kamar mandi utama. Air seni pun terpancar tak terbendung.