Mohon tunggu...
DK Putra
DK Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Katalis

mahakecil aku || setengah buih, separuh debu || buanglah sampah pada tempatnya!

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Abah, 90 Tahun Usiamu Kini

17 Januari 2021   07:04 Diperbarui: 17 Januari 2021   07:20 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto: dokumen pribadi) 

Catatan DK (1)

Aku, Abah, dan Kemesraan yang Sempat Hilang.

Lahir pada tanggal 9 Januari 1931. Puji syukur kehadirat Tuhan. Sampai hari ini, Abah masih bisa menyaksikan terbit-tenggelamnya matahari.

Boleh dibilang, hubungan di antara kami sekarang bagai amplop dan perangko. Akan tetapi, jika ditarik jauh ke belakang, ampun deh. Kala itu aku dan Abah layaknya dua laki-laki asing yang hidup di bawah atap yang sama.

Ya, perjalanan hidup tidak lepas dari yang namanya proses.

Dulu, aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Sedangkan Abah, menurut sudut pandangku selaku anak, ialah tipe orangtua yang cuek. Acuh tak acuh terhadap tindak-tanduk yang kulakoni. Baik itu mulai dari masa sekolah, kuliah, sampai soal pekerjaan.

Menurut Abah, simpel saja. Kalau anaknya keluar rumah, maka pergi dan pulang harus dalam kondisi utuh. Sebatas itu tok. Titik.

Sampai akhirnya, Tuhan turun tangan. Mengubah arah hubungan di antara kami ke jalur yang lebih baik dari sebelumnya.

Bum! 

Abah tumbang, dan harus menjalani operasi prostat. Sebuah kenyataan yang benar-benar menamparku. Prak!

Entahlah! Mendadak semuanya berasa campur aduk tidak karuan. 

(kuberi sedikit bocoran sebelum aku dihadapkan pada kegetiran ini)

Dibanding sama bapak sendiri, aku tuh malah lebih rajin berkomunikasi sama pacar. Mulai dari bertanya soal aktivitasnya, kesehatannya, sampai yang paling receh soal sudah makan apa belum.

Udah gitu, aku tuh lebih tahu soal masalah apa yang dihadapi teman-teman, ketimbang bagaimana keadaan bapak sendiri, yang diam-diam menyembunyikan kondisi kesehatannya.

Ah, anak macam apa aku ini?!

Aku mengganggap Abah cuek. Tapi nyatanya, aku sendiri lebih cuek terhadap dirinya. Sungguh egois. Sangat-sangat egois.

"Sungguh terlalu!" Begitu kata Bung Rhoma.

Masih segar dalam ingatanku bagaimana tindakan medis yang dilakukan pertama kali untuk menolong Abah. Kateter dipasang melalui (maaf) alat kelaminnya. Satu tindakan guna melancarkan urine bercampur darah yang sebelumnya tidak bisa keluar sama sekali.

Duh, Gusti. Ngilu. Benar-benar ngilu.

Sebagai bungsu dari delapan bersaudara, aku dimandatkan untuk menjaga Abah di rumah sakit. Kebetulan, mereka semua sudah berumah tangga dan sibuk ini-itu. Jadi, hanya bisa membesuk tanpa menginap.

Awalnya aku kesal. Kenapa cuma aku? Bukannya anak Abah ada banyak? Terus, bagaimana dengan aktifitas keseharianku? Kok mereka seenaknya begitu, apa sementang aku ini bungsu?

Namun belakangan, semua itu ada hikmahnya. Selama di rumah sakit, rasa takut kehilangan terasa meruncing. Terlebih tiap menyaksikan langsung berbagai tindakan medis yang dilakukan pada diri Abah.

Waktu dan nyawa. Dengan apa kau bisa membelinya?

Pertanyaan itulah yang terus berseliweran di kepalaku setiap memandangi Abah yang tergolek lemah.

Tuhan telah 'menamparku' supaya sadar dan ingat. Bahwasanya, masih ada orangtua (satu lagi) yang wajib diperhatikan. Selagi masih hidup, selagi masih ada kesempatan.

Ya, aku sudah merasakan kehilangan seorang Ibu. Dan setiap kali terkenang, yang ada dalam benakku adalah, hal-hal yang belum sempat kulakukan untuk Ibu.

Apa harus terjadi lagi untuk kedua kalinya?

Antara aku dan Abah, tentu saja, hanya Tuhan yang mahatahu perihal siapa yang berpulang lebih dulu. Namun, sekali lagi, selagi masih diberikan waktu dan kesempatan, terlalu sayang untuk disia-siakan.

Kesembuhan Abah merupakan titik balik. Aku tak mau Abah lepas dari pengawasanku. Menitipkannya ke panti jompo bukanlah pilihan. Ya, bukan pilihan.

Aku banting setir. Dari dunia survei-menyurvei --sebagai enumerator yang kemudian menjadi supervisor-- beralih ke dunia dagang. Yakni, membuka kios di halaman rumah dengan modal patungan bersama salah satu abang.

Dengan begitu, aku bisa mengalokasikan waktu lebih banyak di rumah, dan lebih dekat dengan Abah.

Sejak tahun 2014, hubungan di antara kami jadi lebih mesra. Tak seperti dulu yang terasa rada-rada asing gimana gitu. Namun, tetap saja, pastilah ada bumbu-bumbu kehidupan ala dinamika bapak-anak. Beda generasi, beda pola pikir, dan perbedaan-perbedaan lainnya.

Terlepas dari semua itu, sekali lagi, syukur alhamdulillah yang mana sampai saat ini aku dan Abah masih bisa ngopi bareng. Plus, ngalor-ngidul yang kadang-kadang nyambung, tapi kadang-kadang juga tidak.

Belum lagi hal-hal lain yang bikin aku geleng-geleng juga garuk-garuk kepala. Namun, percayalah, ada kenikmatan tersendiri saat menjalaninya. Kenikmatan batiniah yang tak bisa ditukar dengan rupiah. 

________

Untuk sementara, sekian dulu ya. Insyaallah, aku bakal berbagi cerita lainnya deh.  Liputan langsung dari TKP.

*****

[saya doakan semoga Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang ada di Kompasiana, juga orangtua seluruh Kompasianer, selalu diberkahi kesehatan dan panjang umur. Aamiin...]

17 Januari 2021

Terima kasih. Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun