Pengantar
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tercatat sebagai wilayah yang industri pariwisatanya berkembang pesat. Salah satu model yang dikembangkan adalah wisata budaya berbasis kekayaan lokalitas masyarakat.
Wisata budaya merupakan aktivitas pariwisata yang memanfaatkan budaya etnis, seperti kesenian, pakaian adat, kuliner, festival, museum, ritual, kerajinan, termasuk taman tematik dan peninggalan budaya (Salazar, 2012; Hsiao & Chuang, 2015; Croes & Semrad, 2015; Lacy & Douglass, 2002; Croes, et al, 2013; Yang, 2011).Â
Dalam trend global, wisata budaya melalui bermacam atraksi budaya etnis menarik minat wisatawan, sehingga banyak negara memprioritaskan pengembangannya (Grydehj, 2012; Ozel & Kozak, 2012; du Cros, 2009; Garca, et al, 2019; Kline, et al, 2016; Lim & Bendle, 2012; Chianeh, et al, 2018; Xie & Xu, 2004).
Memahani trend global tersebut, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dalam periode kepemimpinan 2010-2020, memimpin jajaran birokrasinya untuk mengelola potensi wisata yang ada di Banyuwangi, sembari menggandeng para investor. Hasilnya, Banyuwangi menjadi salah satu kabupaten dengan pengelolaan wisata terbaik melalui Banyuwangi Festival (B-Fest).Â
B-Fest menggunakan kekayaan budaya lokal, khususnya yang berasal dari komunitas Using, dan mengkomodifikasi mereka dalam bermacam event spektakuler untuk menyukseskan ekonomi pariwisata berbasis mekanisme pasar, sekaligus memberikan keuntungan politis kepada rezim Anas (Setiawan, et al, 2017a, 2017b).Â
Untuk menyukseskan B-Fest, Pemkab Banyuwangi menggunakan formula neo-eksotisisme dengan memanfaatkan budaya lokal serta keindahan alam untuk menyukseskan kepentingan ekonomi pemerintah dan investor melalui bermacam event yang menarik minat wisatawan untuk datang (Setiawan & Subaharianto, 2019).Â
Neo-eksotisisme juga dijadikan pijakan untuk memberdayakan kesenian etnis Using secara lentur berdasarkan prinsip pasar dengan cara mengemas-ulang dalam bentuk even pariwisata seperti karnaval, festival, dan pertunjukan kolaboratif demi meningkatkan kunjungan wisata dan investasi yang menguntungkan secara ekonomis (Setiawan & Subaharianto, 2020).
Bertambahnya acara dalam B-Fest dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa Pemkab Banyuwangi menggunakan formula festivalisasi berbasis mekanisme pasar pariwisata sebagai model pemberdayaan budaya lokal berdimensi ekonomis.Â
Mengikuti pemikiran Foucault (1980), neo-eksositisme saya asumsikan sebagai rezim kebenaran di mana bermacam wacana terkait budaya lokal dalam mekanisme pasar diproduksi, disebarluaskan, dan dijadikan patokan oleh penguasa dan aparat birokrasi sampai level desa dalam mengambil kebijakan pemberdayaan.Â