Cerita-cerita tersebut melanggengkan anggapan bahwa manusia dan peradabannya tidak akan bisa berlanjut karena lingkungan alam telah dirusak oleh pengetahuan dan teknologi yang ditujukan untuk kepentingan manusia, khususnya mereka yang tidak pernah merasa puas.Â
Bagi Paul Kingsnorth & Dougald Hine (dikutip dalam Stibbe, 2015), cerita paling berbahaya yang biasa kita dengar adalah "cerita sentralitas manusia, tentang spesies yang ditakdirkan untuk menjadi penguasa dari semua yang mereka datangi."Â
Dengan akal mereka manusia menjadi begitu rakus terhadap apapun yang mereka jumpai dalam perjalanan, petualangan, dan pengembaraan di tempat-tempat baru. Kita bisa melihat ini dalam praktik penjajahan bangsa Barat terhadap manusia dan alam bangsa Timur serta eksploitasi tanpa henti kelompok pemodal terhadap hutan-hutan di pedalaman.Â
Ekolinguistik mempertanyakan cerita-cerita yang menopang peradaban manusia yang terancam keberlanjutannya saat ini, membongkar cerita-cerita menjengkelkan yang mengarah pada perusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial, dan menemukan cerita-cerita baru yang lebih bermanfaat bagi kondisi dunia yang kita hadapi.Â
Apa yang perlu kita pahami adalah bawah cerita ini bukan cerita dalam arti tradisional dari narasi, melainkan wacana, bingkai, metafora dan, secara umum, kelompok fitur linguistik yang bersama-sama digunakan untuk mengungkap pandangan dunia tertentu.Â
Dengan kata lain, ekolinguistik bertujuan mengkaji teks-teks kebahasaan berupa wacana, metafora, dan, secara umum, fitur-fitur bahasa, yang digunakan untuk pandangan dunia tertentu terkait perabadan manusia yang mengalami masalah karena persoalan lingkungan dan bermacam masalah dan perusakan ekologis yang berdampak terhadap ketidakadilan sosial.
Beragam cerita yang disampaikan melalui bermacam teks kebahasaan memiliki peran kunci terhadap kerangka berpikir dan tindakan manusia terkait bagaimana memperlakukan lingkungan alam.Â
Dari bermacam cerita yang menyebar dalam bentuk lisan, tulis, visual, ataupun audio-visual, kita bisa mendiskusikan titik-berangkat ekolinguistik beserta aspek-aspek ekologis, aspek-aspek kebahasaan, dan kepentingan-kepentingan yang menyertai itu semua.
Namun, sekali lagi, ini bukan cerita dalam arti narasi biasa. Mereka tidak diceritakan dalam novel yang mengharu-biru, tidak dibacakan untuk anak-anak sebelum tidur, tidak didongengkan kepada anak-anak yang duduk melingkar dengan api unggun di tengah-tengah mereka, atau tidak disampaikan melalui anekdot dalam pidato formal.Â
Sebaliknya, cerita itu ada di antara baris teks yang mengelilingi kita, seperti berita yang menggambarkan "kabar buruk" tentang penurunan penjualan Natal, atau "kabar baik" bahwa keuntungan maskapai meningkat, atau iklan yang menjanjikan kita bahwa kita akan menjadi orang yang lebih baik jika kita membeli barang yang tidak perlu yang mereka promosikan.Â