Begitu terungkap, cerita-cerita tersebut dapat dipertanyakan dari sudut pandang ekologis: apakah mereka mendorong manusia untuk menghancurkan atau melindungi ekosistem yang menjadi sandaran kehidupan? Jika merusak maka perlu dilawan, dan jika bermanfaat perlu dipromosikan.
Ekolinguistik dapat mengeksplorasi pola bahasa yang lebih umum yang memengaruhi cara orang berpikir tentang, dan memperlakukan, dunia. Teori ini dapat kita gunakan untuk menelaah cerita-cerita yang kita terima dan kita hidup dengan mereka, yakni model kognisi yang memengaruhi perilaku dan terletak di jantung tantangan ekologis yang kita hadapi.Â
Terdapat cerita-cerita kunci tentang pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi, alam sebagai objek yang akan dimanfaatkan atau ditaklukkan, keuntungan dan kesuksesan, di mana semua cerita itu memiliki implikasi mendalam tentang cara kita memperlakukan sistem yang menjadi sandaran kehidupan.
Cerita-yang-Kita-Hidup-DengannyaÂ
Semakin seriusnya masalah lingkungan yang mengancam bumi dan manusia, membutuhkan bukan sekedar solusi teknis, tetapi juga perlu mempertimbangkan secara lebih serius faktor sosial dan budaya yang ikut memperparah masalah tersebut.Â
Kalau kita perhatikan, meningkatnya ketidaksetaraan, perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, keterasingan dari alam, dan hilangnya komunitas tidak bisa dilepaskan dari ragam cerita yang mendasari lahirnya masyarakat industri.Â
Korten (dikutip dalam Stribbe, 2015) menjelaskan empat cerita di pusat peradaban Barat memiliki implikasi ekologis mendalam. Pertama, cerita kemakmuran yang mendorong manusia mengidealisasi dan memuja capaian materi dan uang. Kedua, cerita alkitabiah yang berfokus pada akhirat alih-alih dunia di sekitar kita, termasuk lingkungan alam dan kehidupan makhluk hidup lainnya.Â
Ketiga, cerita keamanan yang meningkatkan kapasitas militer dan polisi untuk melindungi dan mengamankan hubungan dominasi yang menguntungkan manusia dari kelompok elit.Â
Keempat, cerita tentang makna sekuler yang mereduksi kehidupan menjadi materi dan mekanisme, terlepas dari ikatan kompleks dengan kekuatan adikodrati dan lingkungan alam. Cerita-cerita tersebut melanggengkan ketidakadilan dan mengarah pada keterasingan dari kehidupan dan perusakan lingkungan.
Bowers (dikutip dalam Stibbe, 2015) menjabarkan bagaimana akar metafora tentang individualisme, kemajuan, ekonomisme, dan antroposentrisme (manusia sebagai pusat kehidupan) telah melebur ke dalam proses legitimasi konseptual dan moral yang kuat dalam banyak bidang ilmu dan kebijakan.Â