Komunitas Yahudi di Amerika dan Eropa, misalnya, bisa menjadi kelompok penekan dan kelompok lobi yang ikut mewarnai dinamika politik, baik di Amerika Serikat dan Eropa Barat maupun di Israel dan Palestina. Bahkan, kelompok diasporik juga sangat berperan dalam konflik-konflik politik yang terjadi di negara asal.Â
Perbincangan tentang komunitas diasporik dan hibridisasi kultural di atas memang lebih mengarah pada konteks migrasi dan globalisasi.Â
Apa yang harus diperhatikan adalah komunitas-komunitas diasporik tidak hanya muncul dalam arus besar globalisasi, tetapi bisa juga muncul dalam berkembang dalam konteks migrasi lokal (dalam satu negara) yang terjadi dalam satu negara, apakah karena alasan ekonomi, politik, maupun sosio-kultural.Â
Migrasi etnik tertentu ke wilayah etnik lain yang mayoritas, banyak juga menciptakan komunitas-komunitas diasporik-lokal yang secara pasti memunculkan praktik kultural sehingga semakin menambah keragaman budaya yang ada.Â
Harapan akan kemakmuran ekonomi dan pengakuan sosial seringkali memunculkan strategi kultural untuk meniru perilaku kultural dari etnis mayoritas yang dipandang lebih superior karena kemapanannya selama ini.Â
Proses peniruan tersebut, tentu saja, tidak pernah berlangsung sempurna karena mereka masih memegang beberapa prinsip dan elemen dasar budaya asal, seperti bahasa, ritual, maupun seni tradisi-lokal.
Namun demikian, hibridisasi kultural dalam komunitas diasporik-lokal, terkadang tidak berlangsung secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari. Ada kalanya hibridisasi tersebut berlangsung dalam konteks-konteks partikular, semisal ketika komunitas diasporik tersebut bertemu dengan anggota dari etnis mayoritas.Â
Hal itu menjadi bentuk negosiasi dan strategi untuk mendapatkan simpati dan pengakuan dari etnis mayoritas bahwa mereka adalah bagian yang sah dari masyarakat yang dihuni etnis tersebut. Etnis mayoritas sendiri, pada dasarnya, juga masih menyisakan ‘ketidakrelaan’ terhadap perilaku hibrid tersebut karena mereka masih saja membayangkan diri dan budaya mereka lebih unggul.Â
Komplikasi dari permasalahan tersebut, menyebabkan komunitas diasporik tidak sepenuhnya menjalankan hibridisasi kulturalnya, sehingga di ruang domestik, baik rumah maupun lingkungan tempat tinggal, mereka akan kembali mempraktikkan tradisi kultural asal, meskipun juga sudah tidak sepenuhnya sama.
Hibriditas Budaya Berlapis