Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hibriditas Budaya: Konsep, Strategi, dan Implikasi

24 Maret 2023   00:12 Diperbarui: 24 Maret 2023   11:47 4244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengantar

Hibriditas budaya ataupun budaya hibrid saat ini menjadi istilah yang banyak diperbincangkan dalam kajian sosio-humaniora seperti sosiologi, antropologi, religi, sastra, dan media, meskipun pada awalnya banyak digunakan dalam wacana saintifik. 

Tidak bisa disangkal lagi, keterkenalan istilah tersebut terkait erat dengan perkembangan wacana pascakolonial dan globalisasi yang dari hari ke hari semakin berkembang dalam perdebatan akademis, baik dalam jurnal, buku, maupun mimbar seminar dan konferensi. 

Dalam konteks kedua wacana tersebut, hibridisasi merujuk pada sebuah proses yang mempertemukan dua atau lebih budaya dalam satu ruang kultural yang kemudian menghasilkan strategi-strategi untuk melakukan percampuran. 

Namun dengan tujuan-tujuan politis untuk menegosiasikan kepentingan lokalitas dalam menghadapi "yang dari luar", sebagai akibat dari kolonialisasi, neokolonialisasi, dan globalisasi yang memang selalu menghadirkan praktik dan bentuk kultural dari luar ruang lokal.

Dalam perkembangannya, istilah budaya hibrid seringkali hanya dipahami semata-mata sebagai bentuk dan praktik percampuran dua atau lebih budaya dengan hasil sebuah format baru yang berwarna campuraduk tanpa menghilangkan karakteristik budaya-budaya sebelumnya. 

Terma-terma yang biasa muncul dari konteks tersebut antara lain musik hibrid, film hibrid, ritual hibrid, pakaian hibrid, gaya hidup hibrid, dan masih banyak lagi. Pemahaman tersebut tentu sah-sah saja dalam konteks akademis. 

Namun demikian, pemahaman tersebut cenderung meletakkan kajian semata-mata pada hasil atau produk percampuran dari hibridisasi untuk kemudian mengkebiri "potensi politis dan strategis" di balik hibridisasi kultural yang berlangsung.

Gilroy (dikutip Hutnyk, 2005: 82) mengajak untuk tidak serta-merta menggunakan kata hibrid, hibriditas, maupun hibridisasi kalau itu semua hanya mengekor pada penggunaan kata-kata tersebut dalam bidang pengetahuan lain, seperti pengetahuan rasial, biologi, maupun pertanian, yang memang sekedar menunjukkan fakta laboratoris usaha-usaha untuk melakukan percampuran. 

Sumber: https://www.mei.edu
Sumber: https://www.mei.edu

Baginya, percampuran kultural di antara dua atau lebih budaya merupakan proses yang tidak sesederhana dengan proses yang terjadi dalam pengetahuan-pengetahuan tersebut. Percampuran yang terjadi dipenuhi dengan negosiasi dan artikulasi yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politis di dalamnya. 

Artinya, hibridisasi dan produk hibrid yang dihasilkan, merupakan "situs pertarungan" yang di dalamnya terdapat pertarungan kepentingan kultural yang ingin dinegosiasikan, diartikulasikan, dan diperjuangkan oleh masing-masing pihak yang terlibat di dalam ruang dan proses budaya yang semakin membaur satu sama lain.

Agar pemahaman terhadap hibriditas budaya dan budaya hibrid tidak semata-mata terjebak ke dalam persoalan hasil, tulisan ini akan pembahasan memaparkan bermacam pendapat para pemikir dalam persoalan hibriditas. Paparan-paparan yang ada diharapkan mampu memberikan pemahaman lebih tentang hibriditas budaya beserta keluasan implikasi teoretis-kritis yang menyertainya.

Menelusuri Makna Sang Hibrid

Salah satu dalil penting yang dilontarkan Edward Said dalam kajian-kajiannya, baik dalam Orientalism (1978) maupun Culture and Imperialism (1993) adalah superioritas kuasa Barat yang salah satunya disebarkan melalui hegemoni dan konstruksi diskursif tentang masyarakat dan budaya Timur. 

Masyarakat timur Timur selalu ditundukkan melalui stereotipisasi pencitraan dan penundukan wacana sebagai entitas yang tidak beradab, tidak berpendidikan, dan perlu dicerahkan melalui "proyek pemberadaban" bagi bangsa-bangsa Timur, yakni kolonialisme dan imperialisme. 

Akibatnya, secara wacana dan praksis bangsa-bangsa timur tidak bisa melepaskan dirinya dari imajinasi superioritas Barat yang sedemikian kuatnya berlangsung dalam praktik kolonialisasi dan imperialisasi. Dalil itu pula yang kemudian menjadi titik-berangkat kajian pascakolonial dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Cover From Art for Space, a gallery exhibitor this Art Fair PH 2022 (Photo: Art Fair Philippines). Sumber: https://www.tatlerasia.com
Cover From Art for Space, a gallery exhibitor this Art Fair PH 2022 (Photo: Art Fair Philippines). Sumber: https://www.tatlerasia.com

Dalam Orientalism, Said secara kritis menekankan pentingnya perhatian pada pengaruh politis dan material dari pengetahuan dan institusi pendidikan Barat serta afiliasi mereka terhadap dunia luar. Secara tegas dia menolak pemahaman liberal tradisional yang mengatakan bahwa pengetahuan humaniora terorganisir demi pemenuhan pengetahuan 'murni' atau 'nir-kepentingan'. 

Lebih dari itu, dalam pengetahuan sebenarnya terdapat operasi dan teknologi kuasa, karena para ilmuwan maupun seniman adalah subjek yang dipengaruhi oleh afiliasi historis, kultural, dan institusional tertentu, yang digerakkan oleh ideologi atau pengetahuan dominan dan kepentingan politik dalam masyarakatnya.

Sangat wajar kiranya, kalau wacana dan pengetahuan yang dihasilkan oleh para ilmuwan maupun para seniman Barat pada masa imperialisme sangat stereotip. Manusia dan peradaban Timur direpresentasikan sebagai Liyan yang kurang beradab, tidak berpendidikan, bermartabat rendah, takhayul, dan perlu dicerahkan. 

Sementara manusia dan peradaban Barat direpresentasikan sebagai kekuatan superior yang unggul dalam segala aspek kehidupan karena mereka lebih rasional, logis, berpendidikan, dan beradab. 

Sementara, dalam Culture and Imperialism, Said berusaha membongkar beroperasinya kuasa dalam memosisikan manusia dan kebudayaan di luar mainstream Eropa melalui kerja-kerja kultural, termasuk di dalamnya karya sastra, dalam konteks imperialisme. 

Di samping membedah karya-karya metropolitan yang dihasilkan oleh sastrawan-sastrawan besar Eropa, Said juga mulai melihat karya-karya non-Eropa sebagai bahan kajiannya, seperti novel Afrika maupun Karibia, sehingga pemikiran-pemikirannya lebih beragam bila dibandingkan dengan Orientalism. 

Dalam Culture and Imperialism, Said juga membuat penekanan terhadap resistensi yang bisa dimunculkan oleh para pengarang pascakolonial. 

Baginya apa yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah moda kritik kultural yang merefleksikan, atau bahkan mengadopsi, hibriditas yang berasal dari sejarah yang saling terkait dari dunia modern dan yang menghindari konsepsi identitas berdasarkan kategori ontologis kaku, baik dalam ras, etnisitas, ataupun identitas nasional. 

Pergeseran pemikiran tersebut mengimplikasikan beberapa hal. Pertama, bahwa memang benar proses hegemoni melalui representasi-representasi kultural yang menekankan superioritas Barat ketimbang Timur, mampu mempengaruhi pola dan praktik kultural bagi bangsa-bangsa terjajah. 

Kedua, dalam proses hegemoni tersebut selalu muncul ketidakstabilan hegemoni, di mana bangsa terjajah bisa menyerang balik atau meresistensi melalui penguatan budaya nasional mereka. Keempat, bahwa dalam konstruksi budaya nasional bangsa Timur sangat mungkin terjadi hibridisasi kultural dan hibriditas budaya yang mewarnai kehidupan mereka di masa kolonial maupun pascakolonial.  

Kemampuan subjek terjajah dan pascakolonial untuk melawan ataupun meniru sebagian teks dan praktik kultural penjajah dan bekas penjajah menjadi perhatian utama dari Hommi K. Bhabha dalam bukunya The Location of Culture (1994). Dengan mengadopsi pemikiran pascastrukturalis, Bhabha mencoba untuk memberikan penekanan berbeda tentang masyarakat kolonial dan pascakolonial. 

Sumber: https://www.kunsten.be
Sumber: https://www.kunsten.be

Samahalnya dengan Said, dalil-dalil yang dilontarkan oleh Bhabha juga ikut mewarnai keragaman teoretis dan analisis dalam kajian pascakolonial berikutnya. Beberapa pemikiran yang memperkuat posisi akademisnya dalam kajian pascakolonial antara lain: ruang antara atau ruang ketiga, peniruan (mimicry), pengejekan (mockery), dan hibriditas. 

Dalam ruang antara, ruang yang mempertemukan kuasa dan budaya kolonial dan tradisi-lokal, manusia terjajah dan pascakolonial bisa melakukan praktik mimikri, pengejekan, dan hibriditas yang menjadi strategis politik dan kedirian mereka di tengah-tengah budaya asing (Bhabha, 1994: 86). 

Bagi manusia-manusia terjajah ataupun yang terpengaruh modernisme di era pascakolonial, mimikri dikonstruksi dalam semangat hampir sama, tapi tidak sepenuhnya sama, tidak diam. Artinya, dalam meniru budaya modern, mereka selalu melakukan keselipan, hal yang berbeda. Dengan demikian, mimikri merupakan proses meniru yang sekaligus mengingkari karena berbeda.

Mimikri merupakan tanda artikulasi ganda. Di satu sisi masyarakat yang selama ini dianggap liyan mengalami perbaikan diri dan budaya dengan disiplin dan regulasi modernisme. Mereka masuk dalam relasi kuasa kekuatan dominan, tapi sekaligus melakukan perlawanan dengan menampilkan hal yang tidak sepenuhnya sama. 

Pengetahuan dan disiplin Barat yang menjadi kekuatan utama mereka untuk menundukkan masyarakat dan budaya Timur bisa dipelajari oleh manusia-manusia Timur, tetapi mereka tidak mau sepenuhnya larut sehingga tetap menghadirkan perbedaan, hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya sama alias tidak lengkap atau tidak utuh, bersifat mendekati.  

Para pejuang Republik seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan yang lain belajar pengetahuan Barat dari sekolah-sekolah Belanda pribumi. Belanda berharap dengan mendidik elit pribumi, mereka bisa mendapatkan pegawai kolonial pribumi untuk memudahkan kuasa. 

Para pejuang Republik tersebut memang masuk ke dalam formasi dan disiplin pengetahuan Barat. Mereka juga berpakaian ala Barat yang menandakan kuatnya pengaruh modernisme. Namun, mereka tidak menghilangkan niatan untuk merdeka. Mereka juga masih memakai peci/kopyah untuk melengkapi jas. Inilah mimikri sekaligus ejekan.

Dengan pemikiran tersebut, subjek kolonial dan poskolonial sebenarnya juga mampu melakukan strategi resistensi, dengan tetap berada dalam lingkaran kuasa, melalui peniruan-peniruan terhadap praktik dan pengetahuan dari penjajah atau yang pernah menjajah untuk mendapatkan pengakuan dalam lingkaran kuasa sekaligus mengejek praktik kuasa yang terjadi. 

Sumber: https://www.lenshorizon.com
Sumber: https://www.lenshorizon.com

Proses itulah yang disebut sebagai strategis kedirian dan kultural di ruang ketiga atau ruang antara yang kemudian melahirkan "hibriditas". Hibriditas bukan sekedar percampuran dua budaya yang menghasilkan sebuah bentuk budaya baru, baik dalam masa kolonial maupun pascakolonial. 

Alih-alih, hibriditas adalah proyek politik-kultural yang bagi penjajah atau yang pernah menjajah bisa digunakan untuk menegaskan kuasanya, dan sebaliknya bagi yang terjajah atau pernah terjajah digunakan untuk mengejek dan sekaligus melawan kuasa tersebut. 

Dengan pemikiran tersebut, Bhabha ingin menunjukkan bahwa manusia pascakolonial sebenarnya mempunyai kemampuan strategis dalam menghadapi hegemoni budaya Barat yang menyebar di ruang pascakolonial, sehingga mereka mampu memainkan politik untuk tidak sepenuhnya mengikuti budaya tersebut, tetapi juga tidak menolak sepenuhnya. 

Semua dilakukan untuk kepentingan mereka. Jadi, manusia pascakolonial tidak bisa terus dibayangkan sebagai mereka yang tidak bisa keluar dari jejaring dan pengaruh diskursif kolonialisme. Dengan bermain-main di ruang antara kebudayaan, mereka bisa melanjutkan tradisi-lokal, sekaligus mengambil dari yang Barat, tetapi tidak sepenuhnya. 

Ini adalah bentuk politik kesadaran untuk tidak menolak yang Barat tetapi tidak juga melupakan yang lokal. Dengan kesadaran hibrid inilah kedirian dan budaya masyarakat lokal akan terus berlanjut dalam konteks zaman yang selalu bertransformasi, sekaligus untuk melakukan resistensi terhadap pengaruh-pengaruh budaya luar. 

Maka, kita bisa melihat kedekatan atau keintiman antara budaya Timur dan Barat. Tentu saja kedekatan dengan budaya Barat tidak hanya berlaku pada masa kolonial, tetapi juga masa pascakolonial yang diwarnai globalisasi. Budaya global yang banyak dipenuhi oleh struktur budaya Barat menjadi sebuah rezim kebenaran baru yang setiap saat dinikmati oleh masyarakat pascakolonial. 

Meskipun tidak sama dengan pola kolonialisasi, namun pengaruh budaya Barat bisa disejajarkan dengan imperialisme kultural yang sedikit demi sedikit menggeser popularitas budaya lokal. Dalam kondisi itulah, subjek pascakolonial 'bertingkah' dengan melakukan pembacaan dan peniruan di ruang pascakolonial untuk kemudian menciptakan produk budaya hibrid.

Sumber: https://www.lenshorizon.com
Sumber: https://www.lenshorizon.com

Bagi beberapa pemikir lain yang ikut mengelaborasi dalil hibriditas Bhabha, hibriditas menandakan adanya keberlangsungan kreativitas dalam dinamika aspek kebudayaan. 

Hibriditas bisa menjadi: (1) kritik terhadap dalil otentisitas budaya; (2) tanda dinamika budaya, di mana batas-batas kultural melebur dan saling melampaui dalam ruang ketiga; (3) bentuk kreativitas kultural yang selalu berkembang melampaui batas-batas yang ada di antara budaya-budaya yang ada; dan (4) bentuk otentisitas baru dari sebuah budaya masyarakat.

Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa hibridisasi kultural merupakan proses panjang dari sejarah kemanusian dan kebudayaan yang tidak hanya terjadi sekarang. Hibridisasi kultural, pada kenyataannya, merupakan proses kultural yang berusia sangat tua dan terus berkembang hingga saat ini. 

Pieterse (2001: 222) menjelaskan bahwa hibridisasi sebagai proses memang setua sejarah itu sendiri, tetapi percepatan percampuran semakin pesat dan bidangnya meluas dalam kebangkitan perubahan struktural, seperti teknologi-teknologi baru yang memudahkan fase baru dari kontak interkultural. 

Globalisasi kontemporer yang semakin cepat merupakan contoh dari fase tersebut. Ranah baru utama dari percampuran baru yang muncul adalah kelas menengah dengan praktik sosio-kultural yang muncul dalam konteks migrasi dan diaspora serta modernitas baru yang lahir dari pertumbuhan pasar baru.

Selama hampir dua dekade rata-rata pertumbuhan ekonomi Macan Asia dan pasar-pasar lain yang muncul berlipat ganda setinggi negara-negara Barat. Hal itu bergantung pada penerapan massif dari teknologi baru, munculnya moral sosial, dan pola konsumsi baru. Itu semua merupakan budaya penggabungan yang menggabungkan teknologi baru dengan praktik sosial dan nilai kultural yang eksis.  

Hibridisasi memang sebuah keniscayaan yang terjadi dalam masyarakat dan mampu melintasi ruang dan waktu. Pieterse (2001: 223), lebih jauh lagi, secara historis menjelaskan ranah-ranah yang menyuburkan perkembangan wacana hibridisasi. 

Pertama, terma hibriditas berawal dalam pastoralisme, pertanian, dan hortikultura. Hibridisasi merujuk pada pengembangan kombinasi baru dengan menyilangkan satu tanaman atau buah dengan yang lain. 

Kedua, hibridisasi dalam hal genetika. Ketika keyakinan dalam 'ras' memainkan bagian dominan, percampuran genetis dan 'percampuran ras' menjadi dalil yang begitu terkenal. 

Ketiga, hibriditas merujuk pada kombinasi dari binatang-binatang yang berbeda, dan juga merujuk pada cyborg (cybernetics organism) kombinasi dari manusia atau binatang dengan teknologi (hewan piaraan diberi chip untuk identifikasi, sebuah rekayasa biogenetik). Keempat, hibriditas kemudian memasuki ranah pengetahuan sosial via antropologi religi, melalui tema sinkretisme. 

Kelima, bahasa-bahasa kreol dan kreolisasi dalam linguistik merupakan bidang lanjutan yang menjadikan titik perhatian pengetahuan sosial. Keenam, yang berkembang sekarang adalah hibridisasi kultural. Ketujuh, perkembangan yang lain juga terkait dengan hibridisasi institusional, termasuk pemerintahan. 

Lemon Tree by StarwaltDesign. Sumber: https://globalliteratures.wordpress.com
Lemon Tree by StarwaltDesign. Sumber: https://globalliteratures.wordpress.com

Kedelapan, hibridisasi organisasional dan pengaruh-pengaruh kultural yang beragam dalam hal teknik manajemen. Kesembilan, interdisiplineritas dalam ilmu pengetahuan menjadi bentuk hibrid baru semisal ekonomi ekologi. Kesembilan, menu menjadi semacam monumen bagi hibriditas kultural. 

Kesepuluh, yang paling umum dalam hibriditas adalah identitas, perilaku konsumen, gaya hidup, dan lain-lain. Membicarakan hibridisasi dengan segala potensi kritis, strategis, maupun politis yang menyertainya tentu tidak bisa dilepaskan dari jejak-jejak historis yang menyertainya, meskipun titik-tekannya tetap pada kondisi dan praktik yang terjadi pada masa kini. 

Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, hibridisasi kultural bisa didefinisikan sebagai sebuah proses kultural yang ditandai dengan usaha-usaha untuk memadukan dua budaya atau lebih ke dalam sebuah bentuk budaya yang tetap bersandar pada budaya lokal tetapi tidak sepenuhnya, mengambil yang asing tetapi juga tidak sepenuhnya. 

Sementara, hibriditas kultural merupakan sebuah realitas dari produksi budaya yang mengambil beberapa unsur dari dua atau lebih budaya yang bisa menciptakan bentuk baru atau memperbarui budaya yang sudah ada. Akibatnya, budaya hibrid yang dihasilkan bisa jadi kehilangan sebagian unsur keasliannya dan ditambah unsur baru. 

Namun, apa yang lebih penting adalah bahwa menjadi sang hibrid adalah bukan sekedar percampuran, tetapi sebuah perjuangan untuk terus menegosiasikan gagasan dan praktik kultural dengan mengartikulasikan lokalitas dan globalitas dalam ruang ketiga demi kepentingan politis budaya lokal. 

Dengan memahami hibridisasi kultural melalui produk-produk hibrid yang dihasilkannya, realitas dan pertarungan kultural dalam masyarakat kontemporer lebih bisa dimaknai kembali, dikaji ulang, dan diceritakan ulang, sehingga kajian sosial dan humaniora tidak terus terjebak pada pemikiran esesnsialisme budaya.

Sang Hibrid vs Esensialisme (Identitas) Budaya

Pemahaman terhadap hibriditas budaya yang menghasilkan campuraduk kultural dengan kepentingan dan potensi strategis yang menyertainya, menghadirkan kritik tajam terhadap pemikiran esensialisme kultural. 

Secara sederhana, esensialisme kultural merupakan pandangan yang memposisikan teks, praktik, dan identitas kultural sebuah komunitas atau masyarakat selalu bersifat stabil, inherent, dan tidak akan banyak berubah. 

Sumber: https://blogs.commons.georgetown.edu
Sumber: https://blogs.commons.georgetown.edu

Dougan (2003: 33) mengungkapkan beberapa karakteristik dari esensialisme kultural. Pertama, menganggap adanya sebuah inti dari unsur-unsur sebuah budaya yang penting bagi eksistensi bdaya tersebut. Kedua, bersifat ahistoris dan tak berkesudahan. 

Ketiga, berusaha menstabilkan identitas kultural yang sebenarnya tidak stabil dan menyederhanakan asal-usul yang menyatu dari pengalaman hidup. 

Keempat, menyediakan batasan-batasan yang permanen, jelas, dan mendalam bagi pembedaan sosial, di mana batasan-batasan itu akan menjadi alat untuk menghormati dan menyalahkan, distribusi nilai harga dan keuntungan, regulasi masyarakat, dan mobilisasi pelaku bagi aksi kolektif.

 Akibatnya, esensialisme dan batasan mendalam mampu menjadi instrumen bagi dua gerakan besar dalam kolonialisme, yakni penaklukan dan perjuangan melawan penaklukan. 

Artinya, penjajah menggunakan esensialisme kultural dari calon terjajah, seperti bodoh, tidak beradab, tidak berpendidikan, mitis, takhayul, dan lain-lain untuk melegalisasi praktik kolonialime atas nama pencerahan. Sementara kaum terjajah menggunakan esensialisme kultural yang melekat pada masyarakatnya untuk bisa membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah.

Esensialisme kultural juga seringkali digunakan kelompok etnis, agama, ataupun ras tertentu untuk melakukan politik identitas (identity politics) yang terkadang tidak digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap budaya yang ada, tetapi lebih sering digunakan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi maupun politik tertentu. 

Gimenez (2006: 431-432) menegaskan bahwa politik identitas, sebagai ideologi dan praktik, kalau tidak hati-hati mengaburkan persoalan kelas sosial sebagai sumber pengalaman dan permasahan bersama, membuka dan menutup kesempatan-kesempatan edukasional, sosial, dan ekonomi. 

Kesamaan tersebut mentransendenkan perbedaan rasial, etnik, dan kultural serta bisa menjadi basis bagi mobilisasi dan pengorganisasian kolektif dalam setting yang beragam, seperti ketetenggaan, sekolah, komuniti, dan tempat kerja. 

Memang, politik identitas menjadikan orang dari dengan perbedaan historis, keturunan, dan budaya mengalami komonalitas berbasis kelas dari perspektif yang berbeda, namun kondisi material dan kebutuhannya tidak pernah serupa. 

Sumber: https://blogs.commons.georgetown.edu
Sumber: https://blogs.commons.georgetown.edu

Sebagai contoh, minoritas etnik dan rasial kelas pekerja, khususnya dari strata miskin, membutuhkan pelatihan kerja, pekerjaan layak, rumah terjangkau, perawatan kesehatan, dan lain-lain. 

Karena politik identitas tidak pernah berdasarkan pada kondisi struktural yang menghasilkan kepentingan objektif, seperti kelas, ia bisa menjadi senjata ideologis bagi semua kepentingan politik: menggiring orang dengan kesamaan kepentingan untuk melawan yang lain, mengaburkan kondisi-kondisi bagi kerjasama dan penerimaan potensial bagi kekuatan politik. 

Juga bisa digunakan kelas dominan dan identitas dominan untuk mengklaim opresi dan eksklusi dengan kebijakan-kebijakan dini yang ditujukan untuk menata kembali pengaruh dari ketidaksamaan, melalui klaim "diskriminasi berbalik" dan "pembenaran politik". 

Esensialisme identitas kultural, dengan demikian, bisa menjadi senjata untuk kepentingan politis tertentu dengan mengatasnamakan kepentingan bersama. Penggunaan atribut-atribut kultural yang diasumsikan sebagai ciri khas komunitas tertentu, bisa menjadi senjata politis efektif karena anggota komunitas tersebut juga memiliki kedekatan satu sama lain melalui kesamaan identitas kultural. 

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kesamaan identitas kultural, tetapi ketika kesamaan tersebut lebih dimaknai dalam kepentingan politis, esensialisme kultural hanya menjadi topeng pihak-pihak tertentu untuk berkuasa dan tetap menjadi dominan dalam masyarakat.

Kita tentu masih ingat bagaimana mobilisasi identitas telah menyebabkan perang berdarah di Yugoslavia dan memecah negara besar itu menjadi beberapa negara berdaulat setelah mengorbankan ribuan warga sipil. 

Begitupulan konflik berdarah di Ambon yang juga mengusung identitas religi untuk melegitimasi peperangan sesama warga Maluku. Perang di Sampit antara Dayak dan Madura juga menggunakan isu identitas.

Esensialisme kultural yang selalu membayangkan adanya kemurnian, pada kenyataannya, memang sangat sulit untuk diwujudkan meskipun beberapa pihak politis berusaha untuk mempolitisirnya. 

Perkembangan masyarakat yang banyak dipengaruhi proses-proses sosial, seperti kolonialisasi, migrasi, dan globalisasi, telah menjadikan bertemunya banyak identitas kultural dan menghasilkan perdebatan teoretis. 

Di dalam proses interaksi dan komunikasi tentu memunculkan wacana-wacana dan tanda-tanda kultural baru yang kemudian bisa menjadi medan diskursif bagi pembentukan kedirian kultural masing-masing mereka yang terlibat. 

Pertanyaan tentang identitas budaya, kemudian, tidak bisa semata-mata dibicarakan dari identitas kultural awal yang diposisikan sebagai esensi dari subjek. 

Sumber: https://www.amberroblesgordon.com
Sumber: https://www.amberroblesgordon.com

Hall secara kritis menjelaskan bahwa identitas haruslah dikonseptualisasikan sebagai hubungan di antara subjek-subjek dan praktik-praktik diskursif yang lebih luas (dikutip Durham, 2004: 141).Senada dengan Hall, Clifford (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321) dengan panjang lebar memaparkan betapa sulitnya menemukan kemurnian kultural seperti yang dibayangkan oleh esensialisme kultural.

Abad ke-21 ditandai pudarnya keutamaan-keutamaan yang pemahaman Barat tentang bahasa dan budaya yang menempatkannya dalam posisi superior. Objek dan dasar epistemologis tersebut sekarang muncul sebagai konstruk, menjelma fiksi, yang memuat keragaman cara berbahasa dan berbudaya. 

Dalam sebuah jagat di mana terlalu banyak suara yang berbicara secara bersamaan, kita juga menyaksikan tumbuhnya jagat urban, multinasional dari transpengetahuan, di mana pakaian Amerika yang dibuat di Korea dipakai oleh anak muda Rusia, di mana akar setiap orang pada setiap tingkatan terpotong. Dalam jagat yang seperti itu, sangatlah sulit untuk melekatkan makna dan identitas manusia pada 'budaya' dan 'bahasa' yang koheren.

Masih dalam pemikiran senada, Waldron (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321) menjabarkan bahwa kita hidup dalam jagat yang dibentuk oleh teknologi dan perdagangan; oleh imperilaisme agama, ekonomi, dan politis serta turunan-turunannya; oleh migrasi massa dan penyebaran pengaruh kultural. 

Dalam konteks tersebut, mengikatkan seseorang dalam praktik-praktik tradisional bisa menjadi eksperimen antropologis yang menyenangkan, namun hal itu melibatkan pengalihan artifisial dari apa-apa yang sebenarnya terjadi di jagat ini. 

Sumber: https://www.amberroblesgordon.com
Sumber: https://www.amberroblesgordon.com

Sifat artifisial tersebut dibuktikan oleh fakta bahwa keterikatan seringkali mensyaratkan dukungan khusus dan kondisi ekstraordiner bagi mereka yang hidup dalam jagat di mana budaya dan praktik tidak bergerak dari satu sama lain. 

Dari sudut pandang kosmopolitan, keterikatan pada tradisi komunitas dalam jagat modern sepertihalnya hidup di Disneyland dan berpikir bahwa lingkungan sekitar seseorang mewujudkan apa-apa yang dibutuhkan budaya untuk eksis. 

Masih lebih buruk lagi, hal itu sepertihalnya membutuhkan dana untuk hidup di Disneyland, sementara masih mengatur untuk meyakinkan diri seseorang bahwa apa yang terjadi di dalam Disneyland adalah segalanya yang ada hanyalah untuk hidup yang mandiri.

Dua pemikiran di atas bertemu dalam benang merah yang mengganggap saat ini sangat sulit untuk menemukan akar, identitas, dan makna kultural yang bersifat esensial dalam masyarakat atau komunitas tertentu. 

Kekuatan akar kultural yang dulunya melekat pada jatidiri komunitas tertentu dan diaplikasikan melalui ritual dan tradisi, dari hari ke hari semakin banyak yang pudar atau bertransformasi ke dalam hibriditas yang tidak bisa dielakkan. 

Esensialisme budaya, kemudian, mendapat kritik tajam dari kalangan konstruktivisme (constructivism) yang memaknai budaya sebagai (1) narasi wacana; (2) proses; dan (3) identitas. 

Bader (2001: 256-261) menempatkan budaya sebagai konsep multidimensional yang salah satu dari dimensinya berkaitan erat dengan hubungan antarbudaya, habitus/sikap, dan praktik. Praktik,apa-apa yang dilakukan orang secara nyata, dipengaruhi oleh habitusnya (budaya yang terinkorporasi) dan oleh cara-cara dalam memandang dan melakukannya. 

Konsep terakhir dari wacana, tidak hanya berupa bahasa, kerangka kognitif dan normatif atau ‘aturan’, citra, mitos dan simbol dunia, masyarakat dan diri (budaya simbolis); tetapi juga berupa kebiasaan, ritual, cara tradisional untuk bertindak, institusi dan nilai-nilai kebaikan (budaya material). 

Sebagai sebuah proses, budaya dimaknai sebagai “membuat budaya”, “kreasi”, “perubahan”, “pertunjukan”, dan “sebuah proses tanpa akhir”. 

Sebagai identitas, perlu dipahami bahwa praktik kultural bisa jadi secara relatif sangat stabil, sementara definisi identitas individual dan kolektif mungkin berubah secara cepat, atau sebaliknya. Definisi identitas kolektif etnis dan religius secara realtif bisa jadi stabil, sedangkan praktik kultural dan religius mungkin berubah secara cepat. Praktik kultural bisa menjadi salah satu basis bagi definisi identitas.

Sumber: https://www.amberroblesgordon.com
Sumber: https://www.amberroblesgordon.com

Sementara para pemikir realisme kritis memberikan pemikiran yang sekaligus mengkritisi essensialisme dan konstruktivisme dengan menekankan bahwa semua konsep dan teori adalah konstruksi sosial, termasuk pengetahuan saintifik, dan secara historis dan sosial mewujud, tetapi tetap memandang adanya struktur. 

Struktur, baik secara natural maupun sosial, bisa berubah karena proses interaksi dan relasi antarmanusia, termasuk budaya yang juga mempunyai struktur. Struktur tidak perlu digambarkan sebagai esensi. Masyarakat tidak perlu didefinisikan secara ontologis sebelum mereka dideskripsikan ketika mengerjakan sesuatu, untuk kemudian menganalisis bagaimana budaya menstrukturasikan praktik. 

Penolakan terhadap kapasitas kausal budaya (atau bahasa) untuk menstrukturkan praktik kultural (atau tindak tutur) merupakan reaksi berlebihan terhadap determinisme kultural atau linguistik, sehingga kita tetap butuh struktur dan kompetensi bagi aktivitas transformasional (Bader, 2001: 254-256).

Baik pemikiran konstruktivisme dan realisme kritis sebenarnya menekankan adanya sebuah proses kultural yang tidak bisa lagi diterjemahkan sebagai sebuah kekakuan, tetapi sebuah proses yang sangat cair. 

Identitas kultural adalah sebuah situs pertarungan di mana representasi-representasi yang dipengaruhi oleh bermacam wacana dominan dalam masyarakat dimunculkan oleh subjek-subjek sosial, sesuai dengan tempat, ruang, dan waktu partikular. Memang identitas kultural bawaan sangat mungkin tetap eksis dalam praktik sehari-hari masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya. 

Namun, negosiasi citra, praktik, nilai, dan bentuk budaya lain bisa merekonstruksi kedirian dan identitas warga dalam masyarakat melalui bermacam adaptasi, peniruan, pemilihan, dan penerapan ragam budaya lain yang mereka lakukan (Hall dikutip Slack, 1997: 115). 

Inilah yang menjadikan formasi wacana tentang hibriditas budaya berkembang pesat dalam masyarakat kontemporer karena terma tersebut mampu menjangkau dan menggambarkan serta lebih menjanjikan dalam membicarakan realitas identitas kultural dan budaya terkini. 

Hibriditas Budaya di Tengah Globalisasi dan Pascakolonialitas

Sebagaimana dijelaskan oleh Bhabha, bahwa pada masa kolonial yang seringkali dipenuhi dengan praktik dan formasi diskursif dengan penekanan superioritas penjajah, subjek terjajah, nyatanya, mampu melakukan pembacaan dan taktik strategis untuk mengatasi problem kedirian dengan melakukan mimikri, pengejekan, dan hibriditas di ruang ketiga. 

Kondisi tersebut, sampai dengan masa pascakolonial juga tetap berlangsung, baik pada awal-awal pascakemerdekaan maupun pada masa perkembangan lanjut dari sebuah bangsa dan negara. 

Pada masa poskolonial, ketika kuasa administratif dan definitif dari penjajah sudah tidak berlangsung lagi di tanah bekas jajajan mereka, bermacam situs pertarungan kultural, ideologis, yuridis, ekonomi, sosial, maupun politik masih saja berlangsung dan seringkali bisa dilihat adanya pengaruh diskursif dari bangsa asing/bekas penjajah. 

Sumber: https://www.amberroblesgordon.com
Sumber: https://www.amberroblesgordon.com

Pengaruh diskursif tersebut bisa saja disepakati sebagai proses yang natural dengan mengimpikan teks dan praktik kultural bangsa bekas penjajah sebagai sebuah kebenaran yang selayaknya diikuti oleh bangsa eks-terjajah ataupun dilawan dengan beragam strategis, siasat, dan taktik, baik dalam ranah budaya, ekonomi, hukum, religi, ekonomi, sosial, maupun politik.

Keluasan ragam teks dan praktik bangsa pascakolonial itulah yang menjadi ranah kajian pascakolonial dewasa ini. Aschroft, dkk (1995: 2) memaparkan bahwa terma pascakolonial berkembang luas dengan disertai ambiguitas dan kompleksitas dari banyak pengalaman pengalaman budaya berbeda di mana ia berimplikasi. 

Kajian pascakolonial diarahkan pada semua aspek dari proses kolonial dari awal kontak kolonial hingga sesudahnya. Kritik dan teori poskolonial harus menimbang implikasi menyeluruh dari pembatasan makna 'setelah-kolonialisme' atau setelah-kemerdekaan. 

Semua masyarakat poskolonial masihlah menjadi subjek dalam satu cara atau cara lain bagi bentuk yang tak kentara atau menipu dari dominasi neo-kolonial, sehingga kemerdekaan tidak bisa serta-merta menyelesaikan masalah tersebut. 

Perkembangan elit-elit baru di dalam masyarakat merdeka, seringkali didukung oleh institusi-institusi neo-kolonial: perkembangan pembagian internal berdasarkan diskriminasi rasial, linguistik, atau religius serta keberlanjutan perlakuan yang tidak sama terhadap masyarakat pribumi dalam masyarakat masyarakat pendatang atau penginvasi. 

Semua persoalan tersebut membuktikan fakta bahwa pascakolonialisme merupakan proses berlanjut dari resistensi dan rekonstruksi. Hal tersebut tidak mengimplikasikan bahwa praktik-praktik poskolonial bersifat mandeg dan homogen, tetapi mengindikasikan ketidakmungkinan untuk semata-mata memahami berbagai bagian dari proses kolonial tanpa menimbang para pendahulu (apa-apa yang terjadi pada masa kolonial, pen) dan konsekuensinya.

Pemikiran di atas, paling tidak menghadirkan beberapa pemahaman tentang kajian pascakolonial. Pertama, istilah pascakolonial bukan semata-mata dipahami sebagai proses keterjajahan sebuah bangsa selama masa kolonial, tetapi bisa jadi berlanjut hingga masa setelah kemerdekaan: terjajah dan pernah terjajah. 

Sumber: https://www.amberroblesgordon.com
Sumber: https://www.amberroblesgordon.com

Kedua, untuk memahami kondisi masyarakat pascakolonial, seorang peneliti juga harus mempunyai pengetahuan tentang proses kolonialisasi yang terjadi pada masa kolonial sebuah bangsa atau masyarakat. Artinya terdapat "proses kontinyu" dari wacana dan praktik yang ada pada masa kolonial hingga saat ini yang diwarnai dengan rekonstruksi dan resistensi. 

Rekonstruksi dimaksudkan sebagai proses kolonial yang masih berlangsung setelah kemerdekaan yang berasal dri kuasa diskursif wacana, pengetahuan, dan praktik yang pernah terjadi dalam masa kolonial dan berlanjut hingga saat ini serta mempengaruhi proses dan praktik sosio-kultural yang ada. 

Sementara resistensi berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan perlawanan terhadap kuasa diskursif tersebut. Hal itulah yang menjadikan kajian pascakolonial tidak terjebak dalam satu fokus, tetapi sangat beragam, dari migrasi, perbudakan, resistensi, representasi, perbedaan, ras, gender, lokasi, serta respons terhadap wacana tuan dari imperial Eropa.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Faruk (2007: 14-15) mengelaborasi beberapa perspektif teoretis yang bisa digunakan untuk membaca masyarakat pascakolonial. 

Pertama, teori pascakolonial merupakan sekumpulan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan, politik, sejarah, dan lain-lain) dari koloni-koloni negera-negara Eropa dan hubungan negara-negara itu dengan belahan dunia sisannya. 

Asumsinya: (1) mempertanyakan efek negatif dari apa yang justru dianggap bermanfaat oleh kekuasaan imperial, semisal pernyataan mengenai hadiah peradaban, warisa sastra Inggris, dan sebagainya; (2) mengangkat isu-isu seperti rasisme dan eksploitasi; dan, (3) mempersoalkan posisi subjek kolonial dan pascakolonial. 

Sumber: https://www.amberroblesgordon.com
Sumber: https://www.amberroblesgordon.com

Kedua, teori pascakolonial berusaha untuk melihat efek penjajahan yang masih berlangsung hingga saat ini serta kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk neokolonialisme (internal maupun global) dan juga respons resistensi atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah terhadap kuasa penjajahan dengan tetap memperhatikan adanya ambivalensi atau ambiguitas. 

Pemahaman teoretis tersebut mengisyaratkan adanya kata kunci dari penjajahan dan segala tindakannya, mengikuti pemikiran Foucauldian, yakni efek kuasa dari wacana dan pengetahuan penjajah ke dalam kebudayaan bangsa terjajah atau pernah terjajah: di masa lalu dan masa kini. 

Bagi bangsa yang terjajah dan pernah terjajah, kondisi itu memunculkan kecenderungan untuk menjadi subjek pascakolonial yang melakoni bentuk, wacana, dan pengetahuan terkait dengan kebudayaan penjajah atau memungkinkan juga mereka bersifat resisten dalam bentuk ambivalensi peniruan.

Hibridisasi kultural jelas-jelas terjadi dalam konteks masyarakat pascakolonial. Mereka yang baru saja bangkit untuk mengisi kemerdekaan tentu memerlukan model-model ideal dalam membangun kebangsaan yang akan menopang keberlanjutan kehidupan bernegara. 

Maka, model-model ideal dalam hal pemerintah, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya yang pernah dipraktikkan bangsa penjajah di tanah jajahan ataupun praktik-praktik lanjut di negara mereka. 

Memang, slogan-slogan bombastis seperti "budaya nasional" bisa menjadi usaha untuk menjelaskan, menjustifikasi, dan memunculkan kesadaran bagi masyarakat pascakolonial untuk mengembangkan eksistensinya. 

Bagi Fanon (1995: 153-157) budaya nasional memang bisa memancing dan memperkuat munculnya kesadaran nasional, tetapi juga bisa menghadirkan kembali proses retrogresi, kembalinya konservatisme tradisional, ketika kekuatan-kekuatan politik yang ada di negara pascakolonial kembali pada konsep kesukuan dalam membangun kesadaran politik dan budaya bangsanya. 

Kondisi ini merupakan ketidakmampuan kelas elit nasional dalam merasionalisasikan tindakan populer, atau ketidakmampun untuk memberikan alasan bagi tindakan tersebut. Kelemahan tradisional bukan hanya sebagai akibat dari mutilasi pihak terjajah oleh rezim kolonial. 

Sumber: https://www.amberroblesgordon.com
Sumber: https://www.amberroblesgordon.com

Lebih dari itu, hal itu merupakan akibat kemalasan kelas elit nasional, terutama dalam hal kemiskinan spiritual dan kecenderungan kosmopolitan sehingga tidak bisa menciptakan strategi nasional yang mampu memperkuat kesadaran nasional melalui penyadaran kultural. 

Karena sulitnya sosialisasi diskursif budaya nasional, maka sangat wajar ketika hibridisasi menciptakan hibriditas kultural dan budaya hibrid yang berlangsung dari level elit negara hingga masyarakat bawah.

Kenyataannya, masyarakat pascakolonial memang masih berusaha menjalankan budaya tradisi sebagai situs negosiasi identitas kultural sekaligus untuk menumbuhkan patriotisme dan nasionalisme, namun mereka juga dengan rajin pula mengenakan pakaian-pakaian yang mengikuti mode-mode Eropa maupun Amerika maupun memainkan atau mendengarkan musik Barat. 

Hibriditas kultural tersebut menandakan sebuah proses antara: menjejakkan kaki di negerinya, memimpikan sesuatu yang ideal dari Barat sebagai penanda bentuk kemajuan peradaban. 

Dengan menjadi sang hibrid, mereka membayangkan diri mereka sebagai bagian dari praktik budaya yang berlangsung di negara-negara Barat. Inilah wacana dan praktik kosmopolitanisme yang menghinggapi masyarakat pascakolonial.  Kosmopolitanisme sebenarnya bisa dilacak secara historis sejak perkembangan filsafat modern Eropa. 

Cheah (2006), mengikuti pemikiran beberapa filosof seperti D’Alembert, Rousseau, maupun Kant, menjelaskan bahwa pada awal abad modern, kosmopolitanisme dimaknai sebagai hilangnya batas-batas negara yang mengekang warga sehingga setiap orang bisa mengembangkan kemanusiaan melalui bermacam praktik dalam bingkai kewarganegaraan universal. 

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa praktik kosmopolitanisme saat ini menyatu dalam globalisasi yang ditandai oleh lalu lintas produk-produk budaya (yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional) dengan representasi-representasinya dan juga oleh maraknya praktik migrasi dari Dunia Ketiga ke Eropa maupun Amerika. 

Sumber: https://www.amberroblesgordon.com
Sumber: https://www.amberroblesgordon.com

Artinya, bayangan-bayangan akan kesejahteraan “negara-negara induk” (the host countries), memang masih menarik banyak orang di Asia maupun Afrika, sebagai bangsa eks-terjajah. 

Sementara Nava (2002) berargumen bahwa kosmopolitanisme dalam konteks masyarakat Dunia Ketiga melekat pada modernitas yang menyatu dalam aktivitas komersial masyarakat urban (seperti mall atau plaza) dan produksi industri budaya bernuansa Barat. 

Akibatnya, kosmopolitanisme sekaligus menjadi sebuah formasi dialogis yang cenderung melawan konservatisme dan identifikasi nasional yang sempit dari budaya warisan generasi terdahulu.

Masyarakat pascakolonial yang masih saja melakukan pembayangan-pembayangan ideal terhadap negara Barat, semakin dimanjakan oleh representasi kultural dan pemikiran dari media, film, televisi, dan produk-produk industri budaya lainnya yang semakin deras masuk di tengah-tengah era globalisasi. 

Memang beberapa tesis tentang globalisasi lebih memfokuskan pada proses homogenisasi kultural bagi masyarakat negara-negara di Dunia Ketiga atau masyarakat pascakolonial karena logika kekuatan modal dan kekuatan produksi industri budaya yang digerakkan dari negara-negara maju dengan Amerika Serikat sebagai pusatnya. 

Dampaknya, neoimperalisme atau neokolonialisasi kultural kembali berlangsung di negara-negara pascakolonial (Kien, 2004; Gills, 2002; Banerjee, 2002; dan, Sparks, 2007). 

Sementara, beberapa tesis lain menyatakan bahwa globalisasi merupakan proses dinamis dimana masyarakat lokal mampu menegosiasikan keragaman kultural sembari mengartikulasikan budaya Barat/global dalam konteks lokalitas masing-masing yang kemudian menghadirkan glokalisasi dan lokalisasi dengan produk budaya glokalnya (Appandurai, 2001; Schuerkens, 2003; Giulianotti and Robertson, 2007; Edwars, 2002; dan, Holton, 2002).

Dalam konteks globalisasi, sebagaimana dijelaskan Giulianotti dan Robertson (2007), masyarakat lokal di negara-negara poskolonial sebenarnya mempunyai kemampuan kreatif untuk melakukan negosiasi dan artikulasi terhadap masuknya budaya global bernuansa Barat untuk kepentingan lokalitas masing-masing. 

Proses inilah yang kemudian dinamakan glokalisasi. Menurut mereka, terdapat empat proyek dalam glokalisasi. Pertama, "relativisasi" yang menandakan kemampuan masyarakat lokal dalam mempertahankan institusi, praktik, dan makna kultural di dalam sebuah lingkungan baru, sehingga menunjukkan komitmen untuk berbeda dengan budaya induk, dalam hal ini budaya Barat. 

Kedua, "akomodasi" di mana masyarakat lokal secara pragmatis menyerap praktik, institusi, dan makna kultural dari masyarakat lain, demi tetap melestarikan elemen-elemen kunci dari budaya lokal yang ada. 

Ketiga, "hibridisasi" yang menunjukkan kemampuan masyarakat lokal untuk mensitesakan budaya lokal dan budaya lain untuk menghasilkan praktik, institusi, dan makna kultural hibrid yang berbeda. 

Keempat, "transformasi" yang menggambarkan keputusan masyarakat lokal untuk lebih memilih untuk menjalani praktik, institusi, dan makna kultural yang berasal dari budaya lain, sehingga menghasilkan budaya yang sama sekali baru yang sekaligus sebagai bentuk penolakan terhadap budaya lokal.  

Memang, keempat proyek glokalisasi tersebut bisa saja terjadi pada masyarakat lokal dengan kecenderungannya masing-masing. Namun demikian, hibridisasi budayalah yang paling banyak mengisi ruang lokalitas masyarakat. 

Masyarakat lokal sebenarnya ingin tetap menjalankan dan melangsungkan praktik budaya lokal yang mereka warisi dari leluhur, namun mereka juga tidak bisa menolak sepenuhnya kehadiran budaya global yang dari hari ke hari semakin beragam, menarik, dan dinamis. 

Sumber: https://www.amberroblesgordon.com
Sumber: https://www.amberroblesgordon.com

Realitas hibriditas budaya tersebut bisa dilihat dalam bermacam ranah budaya, dari industri budaya/kreatif, pakaian, hingga kesenian tradisi-lokal. Musik industrial di negara-negara pascakolonial, misalnya, beraroma sangat hibrid dan berusaha meniru atau memasukkan unsur-unsur musik Barat ke dalam produk musik nasional mereka. 

Kaum muda semakin mengidolakan penyanyi maupun grup band dari Amerika. Program-program televisi lebih banyak meniru program dari Barat, dari sinetron, kuis, hingga reality show. Pakaian yang dikenakan sehari-hari sangat Western-minded, meskipun diproduksi di dalam negeri. 

Kesenian tradisi-lokal seperti wayang kulit, jaranan, maupun campursari, mulai memasukkan unsur-unsur musik (modern) ke dalam pertunjukan mereka. Dalam ranah budaya akademis kondisi serupa juga terjadi. 

Banyak dosen ataupun mahasiswa yang berhasrat untuk menempuh kuliah di luar negeri, baik untuk gelar S1, S2, maupun S3, dengan alasan memperoleh pendidikan yang lebih baik dan untuk bisa merasakan atmosfer akademis di negara-negara dengan tingkat pendidikan yang lebih maju.

Sekali lagi, ini adalah hasil dari proses globalisasi, terutama yang dibawa oleh media dan industri kreatif lainnya, dari televisi hingga internet, yang menawarkan banyak 'nilai-nilai pencerahan' bagi masyarakat lokal. 

Rujukan

Appadurai, Arjun.2001. “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”. Dalam Steven Siedman and Jeffrey C. Alexander (Ed). The New Social Theory Reader: Contemporary Debates. London: Routledge.

Aschroft, Bill, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin. 1995.  “General Introduction.” Dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin (Ed). The post-colonial studies reader. London: Routledge.

Bader, Veit. 2001. “Culture and Identity, Contesting constructivism.” Ethnicities, Vol. 1, No. 2, 2001.

Banerjee, Indrajit. 2002. “The Local Strikes Back?: Media Globalization and Localization in the New Asian Television Landscape.” Gazette: The International Journal for Communication Studies, Vol. 64, No. 6.

Bhabha, Hommi K.1994. The Location of Culture. London: Routledge.

Cheah, Pheng. 2006. “Cosmopolitanism.” Theory, Culture, and Society, Vol. 23, No. (2-3).

Dougan, Henry. 2005. “Hybridization: Its Promise and Lack of Promise.” CODESRIA Bulletin, Nos 1 & 2.

Durham, Meenakshi Gigi. 2004. “Constructing the “New Ethnicities”: Media, Sexuality, and Diaspora Identity in the Lives of South Asian Immigrant Girls.” Critical Studies in Media Communication, Vol. 21, No. 2.

Edwards, Sebastian. 2002. “Capital Mobility, Capital Controls, and Globalization in the Twenty-first Century.” The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, January.

Fanon.1995. “National Culture.” Dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London: Routledge.

Faruk. 2007. Belenggu Pascakolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gills, Barry K. 2002. “Democratizing Globalization and Globalizing Democracy.” ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, May.

Gimenez, Martha E. 2006. “With a little class: A critique of identity politics.” Ethnicities, Vol. 6 (3).

Giulianotti, Richard & Roland Robertson. 2007. “Forms of Glocalization: Globalization and the Migration Strategies of Scottish Football Fans in North America."  Sociology, Vol. 41, No. 1

Holton, Robert. 2002. “Globalization’s Cultural Consequences.” The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, July.

Hutnyk, John. 2005. “Hybridity.” Ethnic and Racial Studies, Vol. 28, No. 1.

Kien, Grant. 2004. “Culture, State, Globalization: The Articulation of Global Capitalism.” Cultural Studies <-> Critical Methodologies, Vol. 4, No. 4.

Kompridis, Nikolas. 2005. “Normativizing Hibridity/Neutralizing Culture.” Political Theory, Vol. 33, No. 3.

Nava, Mica. 2002. “Cosmopolitan Modernity: Everyday Imaginaries and the Register of Difference.” Theory, Culture, and Society, Vol. 19, No. 1-2.

Pieterse, Jan Neverdeen. 2001. “Hybridity, So What? The Anti-hybridity Backlash and The Riddles of Recognition.” Theory, Culture, and Society, Vol 18 (2-3).

Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Pantheon Books.

Said, Edward. 1993. Culture and Imperialism. New York: Vintage.

Schuerkens, Ulrike. 2003. “The Sociological and Anthropological Study of Globalization and Localization.” Current Sociology, Vol. 5, No. 3/4, 2003.

Slack, Jennifer Daryl.1997. “The theory and method of articulation in cultural studies.” Dalam David Morley & Kuan-Hsing Chen (Ed). Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.

Sparks, Collin. 2007. “What’s wrong with globalization?” Global Media and Communication, Vol. 3, No. 2.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun