Kondisi ini merupakan ketidakmampuan kelas elit nasional dalam merasionalisasikan tindakan populer, atau ketidakmampun untuk memberikan alasan bagi tindakan tersebut. Kelemahan tradisional bukan hanya sebagai akibat dari mutilasi pihak terjajah oleh rezim kolonial.
Lebih dari itu, hal itu merupakan akibat kemalasan kelas elit nasional, terutama dalam hal kemiskinan spiritual dan kecenderungan kosmopolitan sehingga tidak bisa menciptakan strategi nasional yang mampu memperkuat kesadaran nasional melalui penyadaran kultural.
Karena sulitnya sosialisasi diskursif budaya nasional, maka sangat wajar ketika hibridisasi menciptakan hibriditas kultural dan budaya hibrid yang berlangsung dari level elit negara hingga masyarakat bawah.
Kenyataannya, masyarakat pascakolonial memang masih berusaha menjalankan budaya tradisi sebagai situs negosiasi identitas kultural sekaligus untuk menumbuhkan patriotisme dan nasionalisme, namun mereka juga dengan rajin pula mengenakan pakaian-pakaian yang mengikuti mode-mode Eropa maupun Amerika maupun memainkan atau mendengarkan musik Barat.
Hibriditas kultural tersebut menandakan sebuah proses antara: menjejakkan kaki di negerinya, memimpikan sesuatu yang ideal dari Barat sebagai penanda bentuk kemajuan peradaban.
Dengan menjadi sang hibrid, mereka membayangkan diri mereka sebagai bagian dari praktik budaya yang berlangsung di negara-negara Barat. Inilah wacana dan praktik kosmopolitanisme yang menghinggapi masyarakat pascakolonial. Kosmopolitanisme sebenarnya bisa dilacak secara historis sejak perkembangan filsafat modern Eropa.
Cheah (2006), mengikuti pemikiran beberapa filosof seperti D’Alembert, Rousseau, maupun Kant, menjelaskan bahwa pada awal abad modern, kosmopolitanisme dimaknai sebagai hilangnya batas-batas negara yang mengekang warga sehingga setiap orang bisa mengembangkan kemanusiaan melalui bermacam praktik dalam bingkai kewarganegaraan universal.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa praktik kosmopolitanisme saat ini menyatu dalam globalisasi yang ditandai oleh lalu lintas produk-produk budaya (yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional) dengan representasi-representasinya dan juga oleh maraknya praktik migrasi dari Dunia Ketiga ke Eropa maupun Amerika.
Artinya, bayangan-bayangan akan kesejahteraan “negara-negara induk” (the host countries), memang masih menarik banyak orang di Asia maupun Afrika, sebagai bangsa eks-terjajah.