Awalan
Banyak pakar berpendapat bahwa kesenian rakyat tengah mengalami proses menuju kepunahannya. Demikian pula banyak berita di media yang mengkhawatirkan kepunahan salah satu aset budaya bangsa tersebut.Â
Tak pelak lagi, semakin massifnya pengaruh budaya populer-industrial di tengah-tengah masyarakat desa sebagai penyangga utama kesenian rakyat diyakini sebagai faktor utama yang mendorong proses kepunahan tersebut.Â
Selain itu, semakin gencarnya syiar agama mayoritas, seperti Islam, ke dalam ruang kultural masyarakat desa ikut pula berkontribusi terhadap kepunahan yang banyak diratapi tersebut. Ketidaksesuaian tradisi dalam pertunjukan kesenian rakyat dengan ajaran-ajaran Islam menjadi penyebab utama lahirnya wacana-wacana stigmatik yang diberikan oleh para pemuka agama.Â
Meskipun berada di tengah modernitas dan syiar agama, tayub terbukti masih bertahan dengan banyak penggemar, dari anak-anak, generasi muda, hingga orang dewasa; dari laki-laki hingga perempuan, termasuk juga mereka yang berorientasi pada transjender. Tayub, nyatanya, memiliki daya-hidup yang lebih liat dan kuat dibandingkan kesenian-kesenian lainnya.
Tayub dan Ritual Desa
Meskipun diposisikan sebagai kesenian yang banyak mengandung unsur profan, nyatanya, masih banyak warga masyarakat yang menggemari tayub. Di Lamongan, Tuban, Bojonegoro, dan Nganjuk, pagelaran tayub masih bisa ditemui dengan mudah pada saat ritual bersih desa ataupun hajatan keluarga.Â
Bagi mereka, tayub sudah diposisikan sebagai identitas kultural yang harus dipertahankan dan dilestarikan di tengah-tengah gelombang besar peradaban modern dan Islam yang menjadi sangat dominan. Wacana tentang fungsi sakral tayub dalam ritual masih dimobilisasi para penggemarnya.Â
Dengan menggunakan argumen tayub sebagai budaya tradisi, para penggemar bisa mengkonstruksi wacana tandingan terhadap wacana-wacana yang diproduksi oleh kaum agamawan. Artinya, kesakralan dan ketradisionalan bukan lagi digunakan semata-mata untuk membentuk identitas tradisional, tetapi sebagai siasat dan jawaban strategis untuk melawan stigmatisasi yang berlangsung.Â
Penggunaan wacana ketradisionalan tayub merupakan siasat liat para penggemar terhadap tentangan sosial terhadap aktivitas profan yang berlangsung dalam pertunjukan. Dengan mengatakan tayub sebagai budaya leluhur, permintaan para dhanyang penjaga desa, dan identitas komunal, gugatan kaum agamawan terhadap ke-profan-an tayub bisa sedikit diredam.