Secara umum bisa dikatakan bahwa pengetahuan tradisioal masyarakat Tengger di kawasan Gunung Bromo tidak bisa dipisahkan dari konsep keseimbangan mikro-kosmos (jagat cilik;Â manusia/masyarakat) dan makro-kosmos (jagat gedhe;Â alam, kekuatan adikodrati, dan Tuhan).Â
Manusia adalah entitas kecil yang menjadi bagian dari sebuah entitas besar bernama semesta dan segala isinya yang dikendalikan oleh kekuatan mahabesar bersama Hong Pukulun, Tuhan Penguasa Semesta. Dalam hal religi, masyarakat Tengger mewarisi ajaran leluhur yang berasal dari zaman Singasari dan Majapahit di mana pengaruh Hindu, Budha, dan keyakinan lokal sangat kuat.Â
Meskipun sejak pemerintahan Orde Baru mayoritas mereka memeluk agama Hindu, bukan berarti mereka meninggalkan ajaran leluhur yang bersumber pada konsep keseimbangan di atas.Â
Pengetahuan-pengetahuan yang diwarisi dari ajaran leluhur tersebut tidak hanya memuat ajaran religi, tetapi juga ajaran tentang keberaturan kehidupan sosial dan sistem numerologi yang berkaitan dengan penanggalan dan hari.
Pengetahuan tradisional yang diwarisi secara turun-temurun berkaitan dengan nilai dan tata perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dan masyarakat dengan penguasa, Â serta manusia dan masyarakat dengan lingkungan dan kekuatan adikodrati (kekuatan ghaib di luar jangkauan nalar manusia).Â
Dengan pengetahuan itulah masyarakat Tengger memahami dan menjalankan kehidupan dalam lingkup keluarga, masyarakat, negara, dan religi dengan tujuan utama untuk mendapatkan keseimbangan dan kesempurnaan hidup, baik dalam kehidupan di dunia dan akhirat.
Bekti Marang Guru Papat
"Bekti marang guru papat" dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai "bakti kepada empat guru", yakni Guru Sing Kuwasa "Tuhan Yang Mahaesa", Guru Wong Tuwo "kedua orang tua", Guru Pemerintah "penguasa yang memberikan perlindungan", dan Guru Pasinaon "guru yang memberikan ilmu pengetahuan.Â
Dari konsep empat guru tersebut bisa dilihat bagaimana masyarakat Tengger memberi penghormatan luar biasa terhadap empat subjek yang menjadikan kehidupan berlangsung. Keempat subjek tersebut harus dihormati karena merekalah yang menjadikan kehidupan Tengger, pada khususnya, dan masyarakat lain, pada umumnya, bisa terus berlangsung.
Orang tua merupakan bapak dan ibu yang melahirkan anak yang berarti melahirkan generasi penerus masyarakat Tengger. Tanpa mereka, masyarakat Tengger tidak bisa bertahan dan berkembang. Orang tua pula yang memberi bekal materi, keagamaan, dan pendidikan kepada anak-anak sebagai penerus keluarga di masa mendatang.Â