Hamparan rumput yang agak mengering karena kemarau menyergap pandangan mata kami setelah membayar biaya tiket masuk sebesar Rp. 5.000 per orang. Hamparan savannah tersebut mendominasi lanskap di sekitar Kawah Wurung. Di dekat pintu masuk terdapat Tourism Information Center yang disiapkan untuk memberikan informasi kepada para wisatawan, baik Nusantara maupun mancanegara.Â
Lazimnya, kawah, kita pasti akan berpikir tentang proses vulkanologis yang mengeluarkan cairan, asap, hawa panas, dan bau mineral tertentu. Namun, ketika kata "wurung" ditambahkan setelah kata "kawah," pemaknaan berbeda pun hadir. "Wurung" dalam bahasa Jawa ataupun bahasa Using (Banyuwangi) bermakna "batal" atau "tidak jadi." Maka, Kawah Wurung bisa dimaknai "kawah yang batal untuk terus menjadi kawah" atau "kawah yang sudah tidak aktif lagi secara vulkanologis."
Ketika tidak lagi menjadi kawah aktif, maka Kawah Wurung yang berada di Desa Jampit, Kecamatan Ijen (dulu Kecamatan Sempol), Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur ini menghadirkan keindahan yang begitu menakjubkan. Bentang savannah yang begitu luas. Keindahan itulah yang mendorong banyak wisatawan berkunjung, khusus di akhir pekan.
Untuk mencapai bisa menikmati hamparan savannah nan indah, saya dan kedua kawan harus naik tangga buatan yang sudah disiapkan. Keberadaan lebih dari seratus anak tangga yang terbuat dari bahan campuran semen, pasir, dan yang lain ini memudahkan pengunjung untuk mencapai puncak bukit agar bisa memanjankan mata dengan keindahan savannah.
Menariknya, di sepanjang kanan dan kiri tangga disiapkan bangku untuk istirahat bagi mereka yang kelelahan menaiki bukit dengan ketinggian sekira 1500 dmpl ini. Sembari duduk di bangku, mereka bisa menikmati hamparan rumput, menghirup udara segar, dan memotret diri mereka serta pemandangan sekitar. Hamparan rumput yang menguning menghadirkan kesan sebuah "negeri di atas awan" yang benar-benar nyata, bukan sekedar dongeng dan lagu.
Setelah melewati plang nama Bondowoso dan Kawah Wurung dalam ukuran besar, sampailah kami pada puncak bukit. Dan, hamparan savanah menyerupai "permadani beludru berwarna hijau yang sangat luas," terhampar di lembah dan perbukitan dengan komposisi yang sangat menakjubkan.
Sejauh mata memandang, hanyalah hamparan rumput yang begitu lembut dan tampak empuk. Saya pun teringat film Teletubis di mana para tokohnya sering berpelukan di padang rumput nan indah. Namun, menurut saya, keindahan Kawah Wurung melebihi itu fiksi, karena ada kualitas ekosistem savannah yang benar-benar nyata.