Dalam remang pagi, cahaya matahari baru saja menyusuri air yang begitu tenang memeluk cakrawala dalam percakapan panjang selalu saja berulang: kemenyatuan langit dan air tak perlu lagi diragukan, meskipun ada sebentuk garis yang memisahkan. Adapun angin gunung masih begitu hening menyaksikan nelayan mulai menyiapkan perahu, hendak membentangkan layar, menyambut orang-orang yang ingin mengalami Pasir Putih.
Aku berjalan sendiri, mendengar jutaan kegembiraan dan kesedihan diputar  butir pasir putih bersama buih-buih yang selalu setia mencumbu mereka. Di sini, orang-orang melautkan bermacam celoteh tentang kehidupan: mengharapkan bahagia selalu mendekap jiwa mereka yang bergemuruh bersama rajutan-rajutan hasrat membuncah. Â
Di atas pasir putih, ada kegembiraan yang dirangkai bersama bening semesta air, tetapi luka masih dibiarkan hidup dalam pikiran menggelepar. Disaksikan daun-daun kering dari gunung, kesedihan dilukis di atas bebatuan karang, ingin dilarutkan bersama ombak samudra, tetapi diabadikan ganggang dalam kisah-kisah sederhana.
Menjelang cahaya, ibu-ibu mulai membuka warung, menyiapkan cerita-cerita kecil bersama bisik daun-daun jati yang mulai mengeringkan diri mereka di musim kemarau. Harum kopi baru saja singgah di antara langkah-langkah kecil, bersama puji-pujian lirih menggelombangkan kegembiraan dan kesedihan. Semoga saja mereka bisa menari-nari bersama terik matahari, segera menjadi hujan yang tak pernah abai akan janji.
Pasir Putih Situbondo, 17 Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H