TEMBANG DI TEPI EMBUNG
Anak-anak kecil melompat ke dalam embung, mencumbuh air bening melimpah bersama senja mulai turun. Tubuh-tubuh telanjang itu begitu bahagia ketika kecipak air menyingkirkan segenap lelah, luruh dalam semesta ikhlas sang bumi.
Kebahagiaan itu selalu saja menemani perjalanan panjang di masa-masa kini, seperti udara selalu menyatukan kesetiaan mereka bersama waktu. Percakapan dan canda di embung mengawal rindu selalu menuntut untuk dituntaskan ketika beragam kisah menikam ramainya malam dan heningnya siang.
Dan, aku menyebut itu semua: masa lalu yang belum juga berlalu.
Pada setiap senja, tembang di tepi embung memanggil seperti deru tanpa gemuruh: mengajak berlari ke dalam kesetiaan anak-anak tak pernah menuntut, tak pernah meminta. Bukankah itu kemanusiaan yang begitu biasa? Tanpa syarat, mengalir, menjumpai wajah demi wajah untuk merajut bahagia. Bukankah itu persaudaraan tanpa slogan-slogan mulia? Tanpa permainan kata yang seringkali berakhir di tong sampah.
Pada setiap senja, tembang di tepi embung menyapa dalam riuh begitu senyap: menggenapi cerita demi cerita selalu berganti. Namun, kesederhanaan celoteh adalah muara terindah dari segala kisah ketika kehidupan bergerak dalam irama melesat, meninggalkan embung tetap di dusun.
Dan, aku masih saja duduk di tepi embung ketika senja mencumbu waktu.
Embung Karangasem, Lamongan, 29 April 2022

Kalau panas adalah kenyataan mesti dinikmati, biarkanlah ia menjadi keindahan mengantarkan perjumpaan dengan orang-orang terkasih. Rindu itu beranak-pianak dalam ketakutan demi ketakutan begitu mencekam. Rindu itu perlu dituntaskan bersama senyum dan cerita di teras rumah.
Telah jauh dalam rekaman dan jejak tahun: kita mengusahakan kemenangan-kemenangan kecil demi perjalanan dan perjumpaan begitu dinanti. Tikaman dan pengkhianatan silih berganti, menguji lapis demi lapis harapan selalu ditumbuhkan di ruang-ruang tanpa nama, tanpa paksaan.