Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Komunitas Tutur, Kesamaan Bahasa, dan Dinamikanya: Pandangan Marcyliena Morgan

3 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 3 Februari 2022   09:17 1854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Professor Marcyliena Morgan mengajar di The Hiphop Archive and Research Institute, Harvard University. Dok. Boston Globe/Boston Globe from Getty Images via www.npr.org            

Komunitas praktik bisa berada di institusi seperti penjara dan institusi mental hingga situasi dengan aturan yang lebih santai, dari sekolah hingga grup drama. Halliday (1978), misalnya, mengkaji identitas dan konstruksi komunitas tutur bawah tanah di institusi dan daerah perkotaan. 

Penelitiannya tentang antilanguages (praktik anti bahasa dominan) di penjara memberikan wawasan tentang konstruksi komunitas tutur yang tertanam yang memanfaatkan gaya linguistik dan wacana dominan dalam kerangka penafsiran yang kontras sehingga narapidana dapat secara efektif berbicara dengan agensi menggunakan wacana yang terkait dengan penerimaan penahanan mereka. 

Dengan demikian komunitas tutur dapat menjadi entitas simbolik yang keduanya menciptakan dan mengindeks keberadaannya sebagai produk tersembunyi dari masyarakat dan struktur kelembagaan. Meskipun anggota komunitas tutur non-dominan seringkali mengakui dan menginkorporasi bahasa standar, mereka tidak mengontrol bahasa itu atau pengetahuan yang terkait dengannya. Mungkin salah satu konteks di mana kita bisa menjumpai realitas ini adalah institusi pendidikan. 

Insitusi pendidikan biasanya menjalankan secara terang-benderang tirani bahasa standar, terutama karena ia mensosialisasikan anak-anak pada norma-norma budaya dan hegemoni komunikatif. Institusi pendidikan tidak hanya menyampaikan pengetahuan khusus dan terspesialisasikan, tetapi juga anggapan bahwa ragam bahasa prestise lebih berharga alih-alih bahasa yang diperoleh dalam percakapan di rumah orang-orang yang tidak mencirikan bahasa dominan. 

Dalam kasus di AS, misalnya, anak-anak diasporik harus belajar bahasa GE yang diyakini sebagai saranan untuk memperoleh pengetahuan lebih luas dibandingkan bahasa lokal di komunitas mereka. Dalam kasus yang lebih ekstrim, kita bisa melihat bagaiama anak-anak Madura wilayah perkotaan atau pinggiran kota Jember harus belajar bahasa Jawa sebagai bahasa dominan yang menjadi bagian dari kurikulum. 

Pada akhirnya, anak-anak itu akan membiasakan diri dengan bahasa dominan sekaligus nilai-nilai budaya yang ada dalam komunitas penutur bahasa tersebut. Inilah yang menjadi bentuk "dominasi  linguistik"  di mana integrasi komunitas tutur pinggiran ke dalam komunitas tutur dominan merupakan produk dominasi politik terus-menerus. 

Proses dominasi ini diproduksi dan direproduksi oleh institusi-institusi yang menuntut pengakuan universal atas bahasa. Jadi antilanguage lebih dari sekedar perlawanan terhadap hegemoni. Ini adalah pengakuan simultan dari wacana oposisi. Komunitas tutur memiliki peran yang rumit dalam pendidikan sebagaimana beberapa psikolog dan sosiolinguis pendidikan berasumsi bahwa hanya kelas menengah yang berbagi cita-cita komunitas tutur sekolah. 

Beberapa kajian mengungkap kontras antara nilai-nilai dalam rumah dan kemampuan literasi. Anak-anak kulit hitam dan kelas pekerja belum pernah berlatih model prestise di sekolah. Namun pihak sekolah menyadari komunitas tutur rumah dan versi modal budayanya. Mereka pun merancang untuk menggantikan komunitas tutur rumah dengan ideologinya sendiri alih-alih memperkenalkan komunitas tutur lain. 

Hasilnya adalah bahwa bahasa sekolah dengan berbagai cara digambarkan mewakili "tradisi pendidikan elitis" di mana hanya ada satu variasi tuturan yang dapat diterima. Sebaliknya, komunitas tutur rumah mengakui dan terkadang menginkorporasi keduanya, dan hanya memilih untuk meninggalkan wacana dominan pada saat kerusuhan sipil atau ketika representasi dan identitas dipertanyakan. 

Dengan demikian, komunitas tutur yang lebih luas mempelajari nilai wacana dan nilai representasi mereka. Tidak mengherankan, ada banyak skenario yang mungkin dilaporkan dalam literatur tentang bagaimana siswa mungkin menanggapi situasi ini. Salah satunya adalah komunitas tutur sekolah tidak berhasil meyakinkan siswa bahwa pertukaran memiliki nilai yang setara dan siswa memperkenalkan inovasi dalam menciptakan nilai-nilai baru untuk model-model ini.

Maka, proyek hegemoni yang menggunakan bahasa standar bukanlah pekerjaan mudah, karena sangat mungkin akan memunculkan kesadaran resistensi dari penutur subordinat. Dalam upaya untuk mengatasi kecakapan buruk anak-anak yang berbahasa Afrika-Amerika dan Spanyol dalam sistem pendidikan AS, beberapa pendidik dan ahli bahasa berargumen terdapat konflik antara bahasa rumah dan bahasa sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun