Bagi Labov, nilai-nilai komunitas tutur mengakui adanya perbedaan sosial di dalam dan di antara komunitas. Kita bisa mengetahuinya dengan mengkontraskan norma-norma dominan dan terang-terangan dengan norma-norma terselubung. Dalam pemahamannya, norma terselubung merupakan preferensi bagi dialek sosial terlepas dari peran ragam standar.Â
Meskipun demikian, pertanyaan tentang bagaimana norma-norma tersebut berfungsi dan apakah mereka, pada kenyataannya, terselubung dengan cara yang sama kepada semua anggota komunitas tutur masih tetap ada. Menariknya, seringkali terdapat agenda dan pandangan berbeda antara teoretisi dan penutur dalam menilai keragaman  bahasa.Â
Para teoretisi, pada umumnya, memperhatikan keragaman yang berkaitan dengan norma dan pola linguistik, sedangkan anggota komunitas tutur mungkin memperhatikan keragaman sebagai bentuk representasi yang tidak tetap tetapi berubah-ubah dalam berbagai interaksi.
Diakui atau tidak, sebagian besar kuliah sosiolinguistik berfokus pada identifikasi dan analisis ragam linguistik alih-alih aspek sosiologis seperti etnis, kelas, usia dan jenis kelamin. Kesulitannya adalah dalam memasukkan sikap tentang bahasa dan gagasan tentang kepercayaan bersama dan yang dikuatkan ke dalam analisis praktik linguistik. Jika anggota komunitas tutur tidak mengetahui bentuk ini, linguis sering berargumen bahwa mereka tidak mengetahui apa yang membentuk komunitas tutur mereka.Â
Bagaimanapun, sosiolinguistik juga harus memperhatikan apa yang sebenarnya diyakini oleh penutur tentang bagaimana praktik bahasa mereka mencerminkan kehidupan sosial. Dalam hal ini, definisi komunitas dan konteks sosial menciptakan dikotomi antara pengetahuan yang dikembangkan oleh teoretisi versus pengetahuan komunikatif dan linguistik abstrak dari penutur.
Salah satu tantangan bagi studi bahasa kreol dan sosiolinguistik adalah untuk menentukan sejauh mana dan cara-cara di mana informasi atau fakta linguistik yang dikumpulkan dari komunitas tutur tertentu dapat, dalam beberapa cara, menguntungkan komunitas itu. Dalam kajian bahasa kreol, tantangan ini sering muncul dalam bentuk pertanyaan tentang kekuasaan dan hegemoni ketika membahas linguistik historis dan penjajahan Eropa.Â
Situasi bahasa kreol modern telah muncul terutama dari sistem perkebunan yang dikendalikan Eropa yang mempertemukan warga berbagai bangsa, budaya dan bahasa, sebagai pekerja kontrak atau budak. Jadi, memahami kreol tidak bisa lagi hanya sekedar sebagai akibat kontak bahasa.Â
Karena komunitas penutur saat ini menggunakan bahasa untuk menegosiasikan dan memperkuat berbagai realitas yang membentuk dunia mereka. Kondisi ini memungkinkan untuk mengkaji situs kontestasi di mana penutur bahasa kreol dan keturunannya bernegosiasi dan mencari kekuasaan. Tentu saja, para linguis sudah semestinya bisa mengungkap kompleksitas tersebut.
BAHASA, WACANA, & REPRESENTASIÂ
Menyadari kompleksitas tersebut, selama beberapa dekade terakhir dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora tumbuh kesadaran akan pentingnya hakikat wacana dalam representasi kearifan lokal, budaya, identitas, dan politik. Pandangan ini terutama berlaku bagi para antropolog dengan kerja-kerja etnografis dalam komunitas yang anggotanya sadar akan perbedaan sosio-kultural dan di mana transmigrasi, identitas, dan ingatan akan dalil yang dibayangkan dan dialami tentang rumah merupakan bagian dari tatanan budaya.Â
Ragam bahasa yang digunakan dalam karya-karya pertunjukan seniman diasporik di negara-negara induk Eropa dan Amerika Serikat, misalnya, bisa menjadi representasi diskursif tentang persoalan dan identitas kultural yang mereka negosiasikan di tengah-tengah budaya hegemonik kulit putih.Â