Dalam kasus regional di Jawa Timur, misalnya, kita bisa melihat bagaimana komunitas keturunan Blambangan memilih menggunakan bahasa yang di kemudian hari disebut cara Using, alih-alih menggunakan bahasa Jawa yang menjadi bahasa birokrat di era kolonial. Bahkan, di era pasca kemerdekaan, birokrast Banyuwangi juga masih dikuasai oleh elit-elit politik dari komuntias Jawa-Kulonan, sehingga bahasa yang digunakan untuk urusan pemerintahan dan pendidikan juga bahasa Jawa.Â
Sebagai komunitas tutur, warga keturunan Blambangan di Banyuwangi memang tidak punya kuasa untuk menolak pengaruh elit politik Jawa-Kulonan. Para elit memiliki modal politik, ekonomi, dan kultural yang cukup kuat untuk mengatur warga keturunan Blambangan. Mereka juga berhak mengatur bagaimana cara memahami dunia bagi kelompok subordinat dengan tujuan bahwa Jawa Kulonan memang layak dihormati, dijalani, dan dtierima.Â
Harapannya, warga keturunan Blambangan di Banyuwangi akan menggunakan budaya dan bahasa Jawa-Kulonan sebagai orientasi dan praktik ideal dalam menjalani kehidupan. Meskipun demikian, karena wacana bersifat dialogis dan representasional, penutur juga memiliki kesempatan untuk mempertanyakan hegemoni melalui tindak kebahasaan. Dalam hal ini, mereka tetap menggunakan bahasa lokal yang disebut cara Using itu.
Beberapa Definisi Awal Komunitas Tutur
Beragam sanggahan dan pertanyaan tentang kegunaan konsep komunitas tutur sudah berkembang sejak Leonard Bloomfield mendefinisikannya sebagai "sekelompok orang yang menggunakan serangkaian tuturan yang sama" (1933: 29). Tentu saja, pengertian ini merefleksikan keyakinan umum pada zamannya, bahwa monolingualisme (satu bahasa, satu negara-bangsa) merupakan contoh kanonik komunitas tutur.Â
Komunitas dimaknai sebagai "kelompok sosial yang mendiami wilayah khusus, memiliki tata pemerintahan dan warisan kultural-historis yang sama." Antropolinguistik pada masa ini lebih fokus pada relasi historis keluarga bahasa, sedangkan bahasa dipandang sebagai hasil dari sejarah dan politik, bukan sebagai sesuatu yang bersifat integral dan berjejaring di dalamnya. Di dalam ranah linguistik struktural-deskriptif, komunitas tutur merupakan produk dan hasil dari apa yang disebut kontak.
Kemampuan  menemukan sejarah dan mendeskripsikan bahasa dunia menjadi penting karena definisi awal berkaitan erat dengan arogansi Barat dan tanggung jawabnya untuk "merepresentasikan jagat dengan benar" dan, tentu saja, mereka sebagai rujukan. Menjadi wajar ketika Bloomfield menempatkan komunitas tutur sebagai jenis kelompok yang paling penting.Â
Namun, evaluasinya terhadap situasi kontak tidak mengasumsikan bahwa beragam sektor masyarakat berinteraksi satu sama lain dengan cara saling melengkapi. Alih-alih, komunitas yang tumbuh selama agresi dan hegemoni kultural Eropa diturunkan statusnya sebagai pelengkap.Â
Sayangnya, dalil bahwa komunitas tutur yang layak tidak bisa eksis dalam lingkungan seperti itu menyarankan bahwa restrukturisasi dan rekonstitusi kultural dan sosial yang dicapai oleh pihak terjajah atau warga yang ditaklukkan merupakan konsep sembrono dalam konteks beratnya penderitaan yang mereka alami. Perspektif ini mempengaruhi kajian awal terkait kajian bahasa, kontak, pidgin, dan creole, di mana bahasa-bahasa Afrika pengaruhnya dianggap marjinal sehingga creoles seringkali diperlakukan tidak sebagai bahasa.
Noam Chomsky (1965) menawarkan pendekatan teoretis yang mengeksplorasi kemampuan manusia untuk menghasilkan bahasa alih-alih bahasa sebagai konstruksi sosial. Ia memperkenalkan perbedaan antara kompetensi dan keberlangsungan dan meninggalkan model yang memasukkan komunitas tutur sebagai dasar analisis linguistik.Â
Kemungkinan untuk menemukan kapasitas linguistik manusia ditemukan dalam diri kognitif dan psikologis yang berkembang terlepas dari di mana kinerja pengetahuan itu berada (komunitas tutur). Alih-alih menyelesaikan konflik antara apakah komunitas tutur merupakan bahasa dan wacana atau dibentuk melalui deskripsi linguistik, Chomsky dengan tegas berpendapat bahwa esensi bahasa terletak pada penemuan mekanisme dan teori di balik kemampuan manusia untuk menghasilkan bahasa.Â