Kesadaran tersebut juga bisa muncul ketika peneliti menyoroti keberadaan dan karakteristik mereka sebagai unit kajian. Dengan kata lain, meskipun komunitas tutur merupakan konsep fundamental, mereka juga menjadi objek kritik yang tak henti-hentinya. Seringkali mereka dikaitkan atau distereotipisasi sebagai sekelompok dengan kemampuan literasi yang buruk, lekat dengan epidemi, pengangguran, kejahatan dan sebagainya.Â
Realitas tersebut mengindikasikan bahwa membincang komunitas tutur tidak bisa semata-mata mengupas bahasa yang digunakan dan bagaimana mereka menggunakan bahasa, tetapi juga kompleksitas relasi dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, politik, atau kultural yang berkuasa serta relasi mereka dengan komunitas tutur lainnya.
Dari sekian banyak argumen kritis terkait komunitas tutur, menurut Morgan, setidaknya terdapat dua perspektif yang saling bertentangan, khususnya yang menekankan bahasa dan wacana. Pertama, perspektif yang memfokuskan pada analisis dan deskripsi fitur linguistik, semantik, dan percakapan yang dikumpulkan dari kelompok dan kemudian dijadikan indikator stabil bagi sebuah komunitas tutur.Â
Kedua, perspektif yang merujuk kepada dalil bahasa dan wacana sebagai cara untuk merepresentasikan sesuatu. Bahasa menjadi alat untuk mengkonstruksi identitas, solidaritas, hubungan sosial, dan lain-lain. Meskipun kedua perspektif tersebut bisa saling melengkapi, mereka seringkali saling bertentangan satu sama lain. Pilihan perspektif akan membawa implikasi lebih jauh lagi tentang komunitas tutur itu sendiri serta konsep secara umum.
Meskipun demikian, warga komunitas tutur seringkali memahami bahwa kedua perspektif tersebut sama-sama eksis dalam kehidupan mereka, meskipun analisis linguistik yang meniadakan keyakinan, politik, dan realitas sosial penutur sering  dianggap sebagai deskripsi 'obyektif' dan akurat tentang komunitas tutur dari perspektif budaya dominan.Â
Salah satu implikasi peniadaan faktor-faktor penting tersebut adalah memberikan legitimasi bagi penetapan bahasa dominan tertentu sebagai bahasa nasional dengan argumen sesuai untuk seluruh warga, meskipun realitasnya hanya dituturkan oleh kelompok elit dan, tentu saja, menguntungkan mereka.Â
Pada saat bersamaan, anggota komunitas tutur mengakui bahwa hegemoni budaya yang dipertahankan, ditegakkan, dan direproduksi juga dapat diinkorporasi dan dilakoni secara diskursif dan harfiah untuk menyoroti representasi pihak lain lain yang tinggal di luar batasnya.Â
Dalam bingkai hegemoni, seringkali pandangan "kita vs mereka" berkembang demi kepentingan pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dari praktik bahasa. Dengan demikian, keanggotaan dalam komunitas tutur mencakup pengetahuan lokal tentang cara bagaimana pilihan bahasa, variasi, dan wacana merepresentasikan generasi, pekerjaan, politik, hubungan sosial, identitas, dan banyak lagi. Bukan sekedar deskripsi kebahasaan.
MEMAKNAI-ULANG KOMUNITAS TUTUR
Dalam banyak kajian yang sudah dilakukan, komunitas tutur seringkali dipahami sebagai cara partikular untuk melihat manusia dan budaya, sehingga terlalu banyak difokuskan pada perbedaan, bukan pada kompleksitas perbedaan dan kuasa. Menyikapi realitas tersebut beberapa linguis menggunakan perspektif kritis seperti hegemoni Gramsci dan modal kultural Bourdieu.Â
Pemikiran mereka bisa digunakan untuk melihat bagaimana relasi antara perbedaan dan kekuasaan, khususnya bagaimana sebuah komunitas berusaha secara diskursif memaknai dan menghadapi kekuasaan hegemonik dari kelompok yang lebih kuat. Ketika komunitas A, misalnya, lebih setia menggunakan bahasa lokal mereka alih-alih bahasa kelompok dominan, anggotanya menyadarai pilihan itu bisa berimplikasi terhadap munculnya stigmatisasi atau perilaku kelompok dominan terhadap keberbedaan tersebut.Â