Hal ini juga terjadi pada remaja yang terlibat dalam budaya hiphop dan yang ingin mengekspos ideologi hegemonik yang direpresentasikan oleh bahasa standar dengan menggunakan norma-norma linguistik Afrika-Amerika dan linguistik dwibahasa. Namun, konflik bukanlah di antara keduanya. Mereka adalah bagian dari satu sama lain dan bergantung pada satu sama lain untuk keberadaan. Sebaliknya, konflik terjadi dengan sistem pendidikan dan upayanya untuk menegakkan hegemoni.
SIMPULAN: KUASA & IDENTITASÂ
Secara jeli dan kritis Morgan meunjukkan bagaimana komunitas tutur merepresentasikan lokasi suatu kelompok dalam masyarakat dan hubungannya dengan kekuasaan. Hubungan ini penting untuk memahami bagaimana aktor sosial bergerak di dalam dan di antara komunitas tutur mereka.Â
Komunitas tutur mungkin terpinggirkan dan diperebutkan, beberapa merupakan bagian dari budaya dominan dan yang lain adalah bagian dari praktik yang mungkin mencakup semua hal di atas. Morgan juga mendiskusikan beberapa keterlibatan yang melekat dalam setiap contoh komunitas tutur untuk menunjukkan bahwa anggota secara aktif terlibat dalam kompleksitas bahasa dan representasi tersebut.Â
Namun, baginya, masih ada tiga pertanyaan. Bagaimana komunitas tutur berhasil memasukkan norma-norma hegemoni dan bagaimana mereka menghasilkan norma, nilai, dan sikap yang tidak menginkorporasi hegemoni dan bertentangan dengan wacana dominan? Terakhir, apa peran peneliti dan ahli teori dalam konstruksi krisis ini?
Untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua, Morgan, pertama-tama, mengadopsi perspektif Judith Buttler. Ranah representasi politik dan linguistik menetapkan terlebih dahulu kriteria di mana subjek dibentuk. Dengan kata lain, kualifikasi untuk menjadi subjek harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum representasi dapat diperluas.Â
Butler menekankan bahwa bahasa yang kita gunakan untuk merujuk pada komunitas tutur kita dan menyebutnya sebagai pengakuan sebenarnya menggambarkan kembali sistem simbolik budaya dominan. Untuk menjadi subjek atau diakui sebagai warga dari masyarakat dominan, mau atau tidak mau, kita harus mengikuti tatanan kebahasaan dan norma-norma dominan yang berlaku. Memang, akan ada relasi kuasa yang berlangsung di dalam penggunaan bahasa dominan.Â
Namun, itu semua menjadi siasat agar subjek bisa diakui dan masuk ke dalam kehidupan masyarakat dominan. Pada tahap berikutnya, Morgan menyerap pemikiran Bhabha tentang interstices di mana subjek subordinat melakukan tindakan-tindakan strategis untuk menegosiasikan diri mereka di tengah-tengah perbedaan budaya di mana kekuatan dominan menjadi pengendalinya.Â
Subjek subordinat memang melakukan inkorporasi bahasa dominan dalam kehidupan mereka sebagai siasat, tetapi mereka juga tidak hanya diam. Artinya, mereka melakukan pembacaan kreatif aspek-aspek lingusitik dan kultural apa yang bisa diambil dari komunitas tutur dominan, tetapi di saat bersamaan mereka bisa meluruhkan kekuatan dominan itu dengan tindakan-tindakan strategis.Â
Misalnya, kuasa bahasa Inggris ditanggalkan kekuatan simboliknya dan dijadikan sarana untuk menciptakan kreativitas baru yang menguntungkan komunitas subordinat. Ini adalah bentuk dinamika dari hegemoni bahasa dominan yang dimaknai secara lentur oleh komunitas tutur.
Komunitas tutur hiphop bisa menjadi contoh menarik dari dinamika tersebut. Komunitas ini dibentuk di jalan-jalan wilayah komunitas berkulit cokelat dan hitam di New York dan dibesarkan menurut praktik counterlanguage Afrika-Amerika. 'Bangsa hiphop' dikonstruksi di seputaran ideologi yang representasi dan referensinya (tanda dan simbol) bersifat indeksikal dan menciptakan praktik kelembagaan.Â