Tulisan ini berasal dari pengalaman saya berkunjung ke pameran lukisan/seni rupa yang diselenggarakan di Gedung Soetardjo Universitas Jember (UNEJ), pada Pebruari 2017. Judul pameran tersebut adalah LOCAL VISUAL JEMBER VISUAL ARTS EXHIBITION (selanjutnya disingkat LV-JVAE). Alih-alih menceritakan makna dari ratusan lukisan yang dipamerkan, saya akan menuturkan tingkah pola generasi medsos (media sosial) dalam melihat dan menikati pameran lukisan sebagai realitas dinamis yang butuh dicermati lebih lanju
Dalam tujuan ideal, sebuah pameran rupa pasti ingin menghadirkan capaian-capaian estetik para perupa dengan beragam makna dan wacana yang mereka hadirkan serta menjaring minat pembeli. Paling tidak, dengan menikmati sebuah pameran seni rupa, pengunjung akan merasakan keindahan ragam visual yang menyampaikan pesan atau wacana tertentu terkait permasalahan sosial, keindahan alam, ataupun dinamika masyarakat.Â
Namun, apa jadinya ketika yang mengunjungi pameran LV-JVAE adalah generasi muda (baca: mahasiswa dan siswa SMA) yang belum pernah datang ke pameran. Mereka adalah generasi yang hidup ruang-ruang perkuliahan tetapi tidak pernah diajarkan perihal seni lukis dan apresiasi pameran rupa, karena setahu saya di Jember memang tidak ada jurusan seni rupa.Â
Kalaupun ada yang mengenal seni lukis, hanyalah satu dua yang pernah mengikuti kursus atau aktif di bidang rupa di organisasi kesenian kampus. Dari 1,441 pengunjung, sebagaimana dilansir oleh panitia  dari Dewan Kesenian Kampus (DKK) FIB UNEJ, mayoritas adalah kalangan mahasiswa/pelajar dan sebagian kecil masyarakat umum, termasuk perupa-perupa Jember yang terlibat.Â
Salah satu pemandangan dominan yang saya saksikan ketika mengunjungi pameran adalah banyaknya pengunjung yang ber-selfie, ber-wefie, ber-groufie ria atau meminta temannya untuk memotretnya di depan lukisan ataupun di sebuah spot yang memang sengaja didesain untuk tempat berfoto.Â
Ya, kita tentu tidak perlu (berlagak) heran, marah, ataupun sedih melihat kenyataan itu. Peradaban sekarang adalah peradaban internet dengan salah satu produk paling populernya "media sosial" (medsos). Rasa-rasanya, tidak ada lagi generasi muda yang 'hidup terpisah' dari medsos, baik untuk kepentingan personal maupun bisnis.Â
Medsos, lebih dari itu, telah mampu membuat jejaring lentur antarindividu dan antarkomunitas dengan bermacam keinginan dan harapan, sekaligus menjadi masalah baru dalam kehidupan sosial.  Tradisi men-display foto diri atau kelompok di medsos, seperti instagram dan facebook seperti sudah menjadi kebutuhan eksistensial.Â
Tidak mengherankan kalau ada plesetan, "aku ber-selfie, maka aku ada". Banyak pengamat mengatakan bahwa mengunggah foto pribadi ke medsos secara berlebihan merupakan perilaku narsis yang bisa berdampak kepada masalah psikologis. Toh, peringatan seperti itu tidak juga membuat pengguna android jerah, sehingga para produsen telepon seluler pun berlomba memberikan pelayanan kamera sebaik mungkin.
Kiranya, tradisi men-display untuk menunjukkan eksistensi di jagat medsos itulah yang menjadi motivasi para pengunjung LV-JVAE (27 Pebruari - 1 Maret 2017) untuk ber-selfie dan ber-wefie sembari menikmati lukisan demi lukisan. Tentu saja, ada gengsi atau cultural value tersendiri bagi para pengunjung yang berfoto.Â
Bagaimanapun juga ajang LV-JVAE adalah pameran terbesar yang pernah diselenggarakan di Jember; paling tidak selama 10 tahun terakhir. Kenyataan ini tentu akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi para pengunjung. Apalagi dengan latar lukisan yang tentu bisa mengundang komentar dari teman-temannya di medsos.Â