Secara umum, posisi ritual tertinggi dari keyakinan dominan tersebut lebih banyak ditempati laki-laki, yang mengendalikan ritual komunal pada level tertinggi. Peran ritual perempuan secara progresif menurun dan peran mereka lebih banyak berkaitan dengan shamanisme dan pemanggilan arwah.
Dalam konteks masyarakat Jawa, menurut Brenner (1995), sebelum berkembangnya wacana ke-priyayi-an yang menyatu dengan wacana kolonial serta nilai-nilai dogmatis tentang jender dari agama resmi yang lebih merendahkan posisi strategis ibu dalam keluarga, para perempuan lebih banyak mengatur kehidupan keluarga terkait dengan fungsi ke-ibu-annya dan juga terkait dengan manajemen keuangan keluarga di mana laki-laki tidak banyak berperan.
Selain itu, perempuan juga melakukan aktivitas perdagangan di pasar maupun aktivitas pertanian di sawah/ladang. Dengan posisi tersebut, seorang ibu Jawa sebenarnya mempunyai kuasa dominan dalam kehidupan keluarga maupun sosial-ekonomi, tetapi wacana priyayi dan kolonial telah menjadikan peran sosial ibu, terutama dalam aktivitas perdagangan di pasar menempati posisi rendahan.
Perdebatan wacana di atas menunjukkan bahwa , “menjadi ibu” atau “tidak menjadi ibu” pada dasarnya bersifat ideologis serta melibatkan tidak hanya pertarungan antara pemaknaan biologis tubuh dan seksualitas perempuan, tetapi juga bagaimana sistem sosio-kultural ikut mempengaruhi pilihan tersebut.
Persoalan ibu dan keibuan secara naratif juga hadir dalam ketetapan hati Renjani dan Mbak Wid dalam memilih menjadi ‘ibu’ dan sekaligus memberikan wacana alternatif tentang pemaknaan ke-ibu-an sebagaimana banyak berkembang dalam masyarakat.
Lebih dari itu, pilihan ideologis yang dipilih kedua tokoh tersebut mampu melampaui perdebatan wacana-wacana di atas, dengan memasukkan beragam sudut pandang penalaran yang menjadi dasar pilihan tersebut.
Pilihan menjadi ibu bagi Renjani tidak murni berkaitan dengan fungsi biologisnya, tetapi tidak berarti ia menolak untuk menjadi ibu secara biologis. Ekspresi penyesalan dan pengakuan akan dosa masa lampaunya menjadi penanda betapa sebenarnya juga mau menjadi ibu dalam pengertian biologis.
Dalam konteks ini, ia tidak bisa dikatakan bersepakat dengan pemikiran feminis radikal-libertarian yang memperjuangkan pembebasan perempuan dari konsep ibu biologis, tetapi juga tidak bisa dianggap menyetujui pendapat feminis radikal-kultural yang mengedepankan ibu biologis dan peran strategisnya.
Pertimbangan untuk ‘menghidupkan’ dan ‘memberi kehidupan’ demi kemanusiaan merupakan alasan kuat bagi mereka untuk menjadi ibu. Renjani dalam mengatakan:
“Saya pindah dari Jakarta. Dalam perjalanan di kereta saya bertemu seorang ibu yang menggendong bayi cacat. Sebenarnya ia bukan anaknya, ia hanya disuruh seseorang untuk membuang anak itu ke Jogja. Rumah ini warisan nenek saya. Awalnya saya bingung, rumah sebesar ini akan saya apakan. Lalu, saya teringat sama ibu yang di kereta. Akhirnya saya putuskan untuk menggunakan rumah ini sebagai tempat untuk bayi-bayi cacat yang dibuang oleh keluarganya.”
Ungkapan tersebut menandakan betapa ia memilih untuk menggunakan rumah warisan neneknya sebagai rumah bagi anak-anak difabel yang dibuang keluarganya agar mereka bisa merasakan kehidupan dunia, meskipun harapan mereka tinggal sedikit.
Anak-anak difabel yang dibuang merupakan penanda bagi mereka yang tidak mempunyai harapan hidup lagi, karena sejak bayi harus berpisah dari ibu dan keluarga yang seharusnya merawat dan membesarkan mereka sebagai manusia yang punya hak untuk hidup.