Bidadari itu bertandang malam ini, mengabarkan senyum berselimut mendung. Lincah tubuhnya tiba-tiba diam di atas ranting basah. Tak juga angin bergerak. Tak juga bintang memancar. Wajah pucat memulihkan gelap merambat
"Aku terjebak dalam kinanti melangit; meluluhkan ruang sadar terkesima. Batas akal terdekap hangat maya senandung, memudarkan simfoni hati mulai terjaga. Kini aku hanya diam di sini; di atas ranting mulai patah. Aku tahu ini bukan takdir, tapi kekalahan yang harus menikamku perlahan-lahan."
Bidadari itu membuka mata mulai kering. Berat ingin membaca rangkaian mantra: menjerat tubuh dan akalnya di antara jejaring gelombang hampa. Ia mulai berhitung kesempatan.Â
"Tak harus meratapi kekalahan. Aku masih bernyawa tak harus merasa kalah. Aku masih berakal. Bersama serpihan remuk sang hati aku akan mematahkan ranting: memulai pagi menghilang dalam hidup."
Jember, 16 November 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H