Subkultur sebagai Realitas Kultural Masyarakat (Pasca)modern: PengantarÂ
Kebudayaan dalam pemahaman konvensional, selalu diidentikkan dengan satu kesatuan utuh antara nilai, benda, dan sistem kultural yang mewujud dalam satu tradisi besar yang memberikan arahan serta petunjuk bagi masyarakat untuk menjadi lebih baik dan bermartabat. Pemahaman tersebut, secara langsung tidak memberikan ruang kepada praktik-praktik partikular yang ada di dalam masyarakat dan berbeda dengan tradisi besar untuk dianggap sebagai bagian sah dari kebudayaan.Â
Posisi mereka selalu berada dalam ruang marjinal dan tidak layak untuk dipahami dalam bingkai akademis. Dalam konteks tersebut, sebagaimana diutarakan Abdullah (2006a: 187), kebudayaan telah menjadi suatu ideologi yang cenderung memarjinalkan kelompok yang memiliki ideologi berbeda.Â
Nilai atau praktik yang tidak sesuai dengan mainstream, menjadi liyan yang keberadaannya dianggap sekedar ekses dari perubahan jaman dan harus dijinakkan dengan beragam aturan yang berasal dari tradisi besar melalui pendidikan maupun agama. Lebih jauh lagi, esksistensi mereka kemudian diwacanakan sebagai "penyimpangan" (deviance) semata dan para aktornya adalah "para penyimpang" (deviant) yang tidak bisa mengikuti pola kultural yang telah tumbuh dalam tradisi besar.
Konservatisme budaya dalam realitasnya harus berhadapan dengan beragam perubahan jaman sebagai akibat dari kemajuan moda produksi dalam era kapitalisme lanjut (advanced capitalism) dan lalu-lintas budaya global yang masuk perusahaan-perusahaan transnasional (transnational corporations/TNCs) maupun media-media penyiaran, baik cetak maupun tulis.Â
Ditambah lagi dengan kebijakan ekonmi politik 'pintu terbuka' yang diterapkan penguasa orde baru dengan orientasi pada pertumbuhan ekonomi, menjadikan wacana modernitas sebagai peta makna yang memunculkan subjek-subjek modern.Â
Wacana modernitas kemudian diterjemahkan dalam pembangunan nasional yang ditandai dengan berdirinya perusahaan penyedia barang dan jasa dalam skala nasional maupun internasional, pusat-pusat perbelanjaan, serta kemelimpahan produk-produk industri budaya yang ditandai dengan massifikasi dan standarisasi dalam setiap level produksinya.Â
Kondisi inilah yang oleh para pemikir kritis diasumsikan telah menyebabkan "pengelabuhan massa" (mass deception) karena masyarakat diarahkan pada konsumsi produk-produk industri budaya yang serba standar dan massif yang serba dangkal, tidak mengarah pada keseriusan pemikiran, dan mengganggu eksistensi budaya adiluhung (MacDonald, 1957: 59-74; Adorno & Horkheimer, 1993: 29-43; Adorno, 1997: 24-29).Â
Dan, lebih jauh lagi, 'kultur baru' yang dihasilkan oleh dari popularitas dan konsumsi industri budaya dianggap oleh kelompok elit kebudayaan tinngi telah menciptakan kelompok masyarakat yang anarkis, anti-sosial, dan mengganggu kemapanan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Ganz, 1974: 19-51).
Di tengah-tengah gencarnya kritik terhadap massifikasi produk dan pengelabuhan massa oleh produk-produk industri, realitas terkini menunjukkan praktik konsumsi dan gaya hidup yang mengedepankan nilai simbolis yang hadir sebagai pembedaan antara kelas sosial yang satu dengan yang lain. Dalam konteks perbedaan itulah, pilihan-pilihan konsumsi tidak lagi terfokus pada nilai guna dan fungsional barang, tetapi lebih pada bagaimana sebuah produk mampu menjadi tanda simbolis bagi kehadiran dan kedirian seorang konsumen.Â