Sebagai penguasa Belanda yang memiliki wilayah jajahan di belahan dunia lainnya, termasuk Hindia Belanda, Ratu Wilhelmina tidak hanya memiliki kuasa ekonomi dan politik, tetapi juga kultural. Kekuasaan Ratu yang naik tahta sejak 1898 ini menjadikan aparatus kolonial di Hindia Belanda berusaha memberikan penghormatan, bukan hanya dengan cara menghasilkan kekayaan ekonomi dan memperluas pengaruh politik yang tentu akan memperkuat kekuasaan Kerajaan, tetapi juga melalui ekspresi budaya.
Tahun 1923 merupakan perayaan perak, dua puluh lima tahun berkuasanya Ratu Wilhelmina di Belanda dan seluruh wilayah jajahannya. Di wilayah Karesidenan Besuki, penguasa kolonial mengggelar bermacam acara yang melibatkan aparat pemerintah, pengusaha, seniman, siswa, guru dan warga masyarakat biasa. Pesta rakyat dilakukan untuk mengungkapkan kegembiraan, rasa syukur, serta memberikan penghormatan dan doa kepada Kanjeng Ratu nun jauh di Eropa.Â
Meskipun Ratu dan keluarganya berada cukup jauh, energi kekuasaannya harus tetap dijadikan "penuntun dan penggerak hidup" di wilayah jajahan. Lebih dari itu, pelibatan warga masyarakat secara luas bisa dibaca sebagai usaha untuk menghadirkan kuasa kerajaan dan kolonial dalam kehidupan kultural, tanpa harus menimbulkan ketakutan.
Berdasarkan foto-foto dari Digital Collection Leiden University Libraries yang bisa saya akses, di Situbondo, Bondowoso dan Jember, beragam acara kesenian dan budaya digelar serta terbuka untuk publik. Keberagaman etnis dan budaya pun menjadi warna dominan perayaan tersebut. Melalui pesata rakyat itulah penguasa kolonial ingin mengabarkan ke Ratu Wilhelmina betapa kekuasaannya memberikan kegembiraan kepada warga jajahan.Â
Di Alon-alon Situbondo, misalnya, pesta rakyat digelar menampilkan atraksi dari komunitas warga Tionghoa yang mempersembahkan barongsai dan liang liong dalam bentuk sederhana. Persembahan tersebut membuat warga yang memenuhi alon-alon gegap gempita. Pertunjukan ini sekaligus menegaskan bahwa kesenian Tionghoa di era kolonial menjadi atraksi yang juga digemari warga dari etnis lain.
Para siswa Tionghoa memberikan ucapan selamat secara khusus kepada Sang Ratu dengan cara menggelar permainanan tradisional di luar ruang kelas. Saya tidak tahu persis apa nama permainan tersebut, tetapi permainan itu ditujukan untuk kebahagiaan Sang Ratu. Warga Tionghoa yang mendapatkan hak untuk berdagang berusaha mempersembahkan kebaikan sebagaimana digambarkan oleh para siswa.Â
Selain itu, para siswa Tionghoa juga menyenandungkan lagu yang khusus dipersembahkan di hari bahagia Sang Ratu. Keseriusan pihak sekolah tampak jelas dengan komposisi para siswa yang diatur sedemikian rupa dengan pola simetris, sehingga tampak kompak dan formal.