Era 1980-an bisa dikatakan masih menjadi masa kejayaan kesenian rakyat di Indonesia, Jawa Timur, dan Jember. Mengapa demikian? Karena di era ini akses terhadap hiburan modern masih cukup minim. Dampaknya masyarakat desa tidak memiliki banyak pilihan untuk menikmati ragam hiburan modern, sehingga mereka masih menikmati pertunjukan ragam kesenian rakyat warisan masa lalu. Salah satu kesenian yang cukup populer adalah ludruk. Meskipun sempat dihentikan pertunjukannya pasca tragedi berdarah 1965, ludruk mulai bergeliat sejak era 1970-an.Â
Puluhan kelompok ludruk berdiri dan mendedikasikan diri mereka untuk menghibur masyarakat sembari menyebarluaskan "pesan-pesan pembangunan" yang digelorakan oleh rezim Orde Baru. Tentu kelompok ludruk tidak bisa menolak pemerintah untuk ikut mengkampanyekan gagasan pembangunan melalui kidungan (kejungan, Madura) dan jula-juli, misalnya. Kidungan dan jula-juli merupakan adegan di mana para penembang lelaki melantukan tembang khas ludruk yang seringkali berisi pesan bijak dan parikan humor.
Memang, ramainya pertunjukan ludruk pada era itu, bisa mendatangkan rezeki. Namun, kalau motivasinya semata-mata mencari keuntungan komersial dari ludruk, jelas sulit. Karena uang tanggapan harus dibagi secara merata kepada para seniman dan kru panggung, sehingga mendapatkan uang Rp. 50.000 - Rp. 100.000 dari sebuah pertunjukan itu sudah patut disyukuri. Maka, bagi para pelaku, mengandalkan semata-mata dari pertunjukan jelas tidak cukup untuk menyambung hidup. Motivasi kecintaan dan panggilan hati untuk terus mengembangkan ludruk di tengah-tengah masyarakat Jember menjadikan Pak dan Bu Giman berjuang untuk survive. Mereka sadar, banyak seniman yang bisa mendapatkan tambahan rezeki ketika Maharani masih eksis.Â
Menambahkan gelar kreatif seperti tarian dan campursari (gending-gending Jawa, Madura dan Banyuwangian) dalam iringan gamelan yang terkadang dipadukan dengan musik dangdut menjadi salah satu pilihan. Adegan tari dan campursari tentu bisa memuaskan kegemaran penonton yang tidak melulu menyukai cerita pertunjukan. Selain itu, adegan tarian dan campursari dengan mengenakan pakaian adat juga bisa memperkenalkan penonton, khususnya anak-anak dan kaum muda untuk mengenali budaya lokal mereka. Jadi, selain menghibur, para penari dan penyanyi membawa misi kebudayaan, tanpa bermaksud menggurui.
Terkait cerita, selain cerita kepahlawanan seperti Sakera, Branjang Kawat, dan Sawunggaling serta cerita Jemberan seperti Sogol Pendekar Sumur Gemuling, mereka juga membuat cerita-cerita yang sesuai dengan kondisi masa kini. Maksudnya adalah cerita yang disesuaikan dengan perkembangan dan permasalahan masyarakat: cerita berbasi masalah sehari-hari. Ada pula yang unik, yakni cerita yang melayani permintaan tuan rumah. Di sinilah kita bisa melihat kemampuan kreatif para pelaku ludruk dalam membuat cerita sesuai keinginan tuan rumah. Dan, hebatnya lagi, para pelaku ludruk tidak membuat naskah tertulis, tetapi cukup membuat cerita secara umum dan menyampaikannya secara lisan kepada para pemain sebelum mereka pentas. Seorang sutradara menggunakan papan tulis untuk membagi peran dan apa yang harus dilakukan para seniman. Di atas panggung, para seniman akan melakukan improvisasi kreatif sesuai cerita yang dipesan.Â
Keluarga Pak dan Bu Giman sepenuh hati terus berusaha untuk memajukan kesenian rakyat dan budaya lokal berdasarkan pengalaman dan cita-cita mereka. Regenerasi dan terobosan kreatif menjadi kata kunci agar ludruk bisa bertahan. Kepada mereka kita perlu belajar. Meskipun tanpa perhatian serius dari pemerintah kabupaten, Maharani masih bisa bertahan dan dipertahankan dalam ruang-ruang desa yang tengah bergerak dinamis.