Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Menari Bersama Embun

1 Maret 2020   09:06 Diperbarui: 20 Juni 2020   21:49 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
radarjember.jawapos.com

Mereka bermain dalam lantunan gerak yang memanggil
Pada sebuah mata bersandar malu, beribu tahun
Tapi, apa yang bisa diharapkan dari malu, kecuali lapar
Lapar yang terus menunggu di sebuah jembatan retak

Keinginanku untuk menonton pertunjukan jaranan di Balung akan segera kesampaian siang ini. Bam, pelatih teater di SMA Kencong, setengah berlari menghampiriku ketika aku sedang berteduh di depan sebuah tokoh emas di Pasar Balung. Karena biasa bertemu dalam forum latihan teater pelajar se-Jember selatan, kami berdua jadi akrab. 

Aku sendiri mendampingi teater pelajar di SMA Balung. Bam masih tampak seperti dulu, awet muda. Aku menduga, gejolak dan keliaran nalarnya dalam berteater-lah yang mungkin menjadikan semesta mengalirkan "energi pucuk daun berembun", sehingga ia tampak selalu muda. Dengan sepeda motor bebeknya, Bam membawaku ke lokasi pertunjukan jaranan. 

Kami melewati jalan desa yang sudah diaspal, meskipun banyak yang lubang. Lahan tebu di kanan kiri jalan, menyeret kami berdua pada himpitan hijau yang begitu panjang. Hampir 15 menit aku menikmati pemandangan ini. Begitu masuk di gapura Desa Glundengan, aku menikmati suasana desa yang dipenuhi nuansa modern. Rumah-rumah dengan arsitektur ala perumahan elit perkotaan menjadi lanskap yang sangat kontras dengan sebutan "desanya". 

Meskipun demikian, di sela-sela rumah bergaya kota tersebut, masih terselip rumah-rumah keluarga miskin yang terbuat dari "separuh bambu, separuh kayu". Maksudnya, tiang-tiangnya terbuat dari kayu jati, tetapi dindingnya terbuat dari separuh kayu separuh bambu. Ada juga rumah yang seluruhnya terbuat dari bambu.

Setelah melewati beberapa gang, kami berdua memasuki gang tempat pertunjukan jaranan dilaksanakan. Di sepanjang jalan gang, para penjual makanan, dari bakso, cilok, es, nasi rawon, nasi soto, buah-buahan hingga kacang godok dan goreng mulai menata barang dagangannya. Tampak jelas harapan di wajah mereka agar pertunjukan kali ini bisa mendatangkan rejeki. 

Anak-anak mulai berduyun-duyun menuju tempat pertunjukan yang baru digelar selepas dzuhur. Ibu-ibu muda menggendong anak-anaknya yang masih kecil, sambil berteduh di bawah pohon rindang atau di bawah emperan rumah agar bisa menikmati atraksi jaranan.

Begitu sampai di tempat pertunjukan, Bam langsung mengajakku ke tempat berkumpulnya para pemain di teras samping rumah penanggap, tuan rumah. Dengan ramah menyambut kedatangan kami berdua. Pertama kali, aku dikenalkan oleh Bam kepada pemimpin kelompok yang bernama Pak Bagong. Laki-laki ini sehari-harinya, bila tidak ada tanggapan, bekerja sebagai buruh tebang tebu di Pabrik Gula Semboro, tempat kerja yang jauhnya sekitar 30 KM dan hanya ia tempuh dengan sepeda onthel-nya. 

Setelah dikenalkan dengan Pak Bagong, aku langsung bergabung dengan beberapa lelaki tua yang duduk melingkar sambil menikmati rokok dan kopi.  Mereka adalah Mbah Rohman, penasehat kelompok sekaligus bertugas sebagai tukang gambuh, orang yang biasa menyembuhkan para penari yang kesurupan; Mbah Kodir, tukang mengawasi pertunjukan agar tidak ada kekuatan jahat yang masuk ke arena; Mbah Siro, sama seperti Mbah Kodir, tetapi terkadang suka membantu Mbah Rohman.

Mula-mula mereka menanyai beberapa hal terkait asal-usulku. Setelah mengetahui bahwa aku adalah mahasiswa di Universitas Jember, mereka kaget karena aku jauh-jauh ke desa hanya untuk menonton jaranan. Tidak lupa mereka mempersilahkanku menikmati kopi maupun penganan tradisional yang ada. Dengan agak malu-malu aku minum kopi yang lumayan pahit dan juga kucur yang masih hangat.

Namun, masih ada yang menarik perhatianku, yakni para jathil wedok, penari jaranan perempuan, yang sedang merias diri mereka. Ah, ternyata mereka masih anak-anak. Ada juga yang berusia remaja. Rukun sekali mereka, saling membantu untuk merias wajah. Kegembiraan begitu jelas tergambar di raut wajah mereka, seolah-olah hidup mereka adalah di pentas. Anak-anak seusia mereka di kota, tentu saja, kalau siang-siang begini masih sibuk berkemas pulang dari sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun