"Karena apa, Van?"
"Ndak, ndak. Mungkin karena kamu terlalu baik jadi aku punya semangat baru. Pokoknya aku mau ikut, kan aku malu hanya tidur dan makan tiap hari." Sebenarnya aku ingin mengatakan karena "pelukanmu", tapi aku takut ia tersinggung.
Karena aku terus memaksa, akhirnya ia mengizinkanku ikut mencari udang. Benar sekali yang ia katakan waktu pagi banyak udang yang keluar mencari makan di balik bebatuan kali. Dengan menggunakan tangan kosong kami berlomba-lomba mendapatkan udang. Satu per satu udang kami dapatkan. Aku lihat Vee begitu senang, entah karena mendapatkan udang atau karena kehadiranku. Yang pasti kami berdua pagi ini sangat senang.Â
Setelah mendapatkan udang yang lumayan banyak, kami mengakhiri 'perburuan'. Berdua kami membersihkannya. Sementara ia memasak, aku mencari kayu kering yang basah karena di sini memang sangat lembab. Aku membawanya ke dapur, meletakkannya di samping tungku biar cepat kering. Ketika bubur singkong dan udang sudah masak, Vee segera mengajakku menikmati sarapan istimewa itu. Enak sekali. Sesekali ia menyuapi udang ke dalam mulutku. Begitupula sebalikknya. Rasanya kami sudah begitu dekat, meskipun baru sebentar kenal.
Hari-hari berikutnya kami lalui dengan kebahagiaan. Kami mencari udang lalu sarapan. Siang hari kami membuat pakaian dari kulit kayu muda yang dikeringkan terlebih dahulu. Sore hari kami menanam bunga dan anggrek tropis yang sangat elok dan tidak pernah aku jumpai di toko-toko bunga di kota. Malam hari kami makan malam lalu tidur bersama. Aku tidak pernah lagi berusaha menanyakan sejarah perempuan ini karena kebahagiaan yang kami rasakan bersama terlalu indah untuk dibandingkan dengan masa lampau.
Memang, terkadang aku sempat memikirkan kehidupanku di dunia atas. Teman-temanku di kampus, saudara ataupun kedua orang tuaku pasti sedang bersedih karena aku menghilang begitu saja dari kehidupan mereka. Atau, mungkin mereka sudah menganggapku mati. Ah, biar saja. Mungkin lebih baik seperti itu. Saat ini aku hanya ingin menjadikan apa-apa yang sedang terjadi sebagai sebuah keindahan baru dalam hidupku. Aku sendiri sudah lupa, sudah hari keberapa berada di tempat ini. Biarlah aku melupakan waktu, karena semua menjadi begitu berarti di tempat ini.
Malam ini, tiba-tiba, Emak memanggil-manggilku dari tempat yang sangat jauh. O, itu rumahku. Sangat jauh. Emak berdiri di pintu. Aku berlari, ingin segera memeluknya. Tapi, semakin dekat, semakin sulit aku memeluknya. Ada tabir tipis yang menghalangi perjumpaan kami. Emak hanya tersenyum melihatku.
"Aku tak bisa memelukmu, Mak. Mengapa Engkau malah tersenyum?" Aku berteriak meronta.
"Kamu masih takut, Van. Melangkahlah dengan batinmu untuk menjalani kenyataan. Pahami saja apa yang kamu hadapi. Maka, kamu akan leluasa memandang ke belakang dan melangkah ke depanmu lagi." Secepat kilat, Emak menutup pintu rapat-rapat. Aku terus berteriak, menangis, memanggilnya.
Aku masih saja menangis ketika Di membangunkanku, memberiku minum.
"Kamu mimpi buruk, Van?" tanyanya.