Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku dan Seorang Perempuan di Jurang Sajiwo

1 Maret 2020   07:21 Diperbarui: 8 November 2021   19:01 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan, inilah aku, seorang lelaki yang kini duduk diam menunduk di atas sebongkah batu kali besar. Aku tidak tahu, apakah aku harus merasa malu, tidak berdaya, atau marah dengan apa yang telah aku alami. Aku juga tidak tahu sepenuhnya apakah ini mimpi, keajaiban, ataukah sekedar khayalan. Aku merasa baru saja mengalami kecelakaan. Aku jatuh ke jurang, karena hujan yang begitu deras, menjadikan pandanganku kabur, hingga terpeleset. Nyawaku menyaksikan tubuhku jatuh menghantam tanah, batu, duri, akar, dan pepohonan. Tiba-tiba, kini, tubuh dan nyawaku telah kembali utuh oleh mantra seorang perempuan yang tengah duduk bersila di hadapanku.

"Mengapa harus terus menunduk? Bukankah kamu sudah kembali? Bicaralah dan tataplah aku."

Suara perempuan itu dengan cepat membuyarkan semua kebingunganku. Ketika keberanian untuk menatap wajah perempuan itu muncul, betapa tidak masuk akal ini semua. Ya, perempuan penolongku itu ternyata sama seperti wajah perempuan yang hadir dalam mimpi-mimpiku selama ini. Bagaimana mungkin ia bisa hadir di alam nyata---kalau memang ini nyata? Bagaimana mungkin perkataannya bisa mengembalikan nyawaku ke tubuhku? Bagaimana mungkin? Atau, jangan-jangan ini hanyalah mimpi? Rasanya ini semua sungguh tidak masuk akal. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.

"Tak usahlah kamu bingung memikirkan apa-apa yang sudah terjadi. Anggap saja ini memang harus terjadi dan sudah menjadi bagian dari perjalanan panjangmu. Aneh memang, tetapi tidak akan aneh ketika kamu menyadari sejarah hidupmu yang penuh pencarian, mimpi, dan ketakutan itu," tutur perempuan itu.

"Bagaimana mungkin kamu bisa tahu semua itu? Dan, siapa sebenarnya kamu?"

"Bagaimana aku bisa tahu? Aku rasa itu semua tidak penting. Dan, tentang diriku, aku rasa kamu sudah tahu sepenuhnya, meski kamu hanya menganggapku mimpi dan impian. Begini saja, yang penting sekarang kamu sudah kembali lagi menjadi manusia. Itu saja." Perempuan itu hendak beranjak dari duduknya. Dengan sekuat tenaga aku berusaha meraih lengannya.

"Tunggu! Kalau kamu memang tidak mau bercerita tentang siapa sebenarnya dirimu, tidak jadi masalah. Tapi, kamu harus bercerita mengapa nyawaku bisa kembali ke tubuhku."

"Ya, bagimu semua menjadi aneh. Bagimu aku ini orang sakti, peri, nabi, atau nenek sihir; bisa menghidupkan orang mati yang badannya sudah hancur lebur. Mungkin bagimu aku ini Sang Penghidup, Tuhan, Sang Hyang Widhi, Gusti Allah, Alloh. Tidak. Aku ini manusia biasa. Sebenarnya tubuhmu belum mati. Kamu dikacaukan pikiranmu sendiri karena kamu terlalu memikirkan tubuhmu. Ketika terjatuh ke dalam jurang ini, kamu merasa sejarah dan impian tubuhmu sudah berakhir. Kamu terlalu takut kehilangan sejarah dan impian itu, sehingga semua tampak menjadi kengerian yang mencekam. Padahal semua masih berjalan dengan normal. Yang aku lakukan hanyalah meyakinkan bahwa kamu sepenuhnya masih manusia. Itu saja. Sudahlah, aku mau pergi dulu. Masih banyak yang harus aku kerjakan di sepanjang kali ini. Dan, sekali lagi ingat, aku bukanlah Sang Penghidup! Selamat tinggal!"

Aku hanya bisa menatap kepergiannya tanpa bisa berkata karena pada dasarnya aku masih sulit mengerti atas apa yang terjadi. Perempuan itu berjalan, begitu cepat, tapi ia tidak terbang. Tubuhnya terlihat begitu ringan menembus cahaya matahari yang mulai memudarkan pandanganku. Derasnya air kali dan terjalnya bebatuan, bukanlah halangan serius baginya. Kini, tinggalah aku sendiri ditemani bebatuan, semak, anggrek, pepohonan, dan derasnya air kali, yang diam-diam mentransfer energi ke dalam sel-sel tubuhku yang mulai bergerak. 

Aku berusaha bangkit sekuat tenaga. Tubuh ini rasanya begitu berat, susah sekali digerakkan. Semakin aku berusaha bangkit, semakin berat rasanya tubuh ini. Namun, aku terus berusaha sembari meyakinkan pikiranku bahwa aku bisa bangkit dan bergerak. Dan, ketika aku sudah hampir bisa berdiri, tiba-tiba kakiku menginjak sesuatu yang licin. Semuanya berjalan dengan begitu cepat, yang aku dengar adalah suara "buk". Lalu, semuanya menjadi begitu gelap.

Aku tersadar ketika lima jemari mengelus-elus keningku. Ketika membuka mata, aku baru tahu ternyata aku berada di atas ranjang bambu ditemani seorang perempuan dengan wajah bersinar, rambut bergelombang terurai. Sembari duduk di sampingku, perempuan itu tersenyum kecil, seperti sedang melihat seorang anak yang membutuhkan kasih sayangnya. Perempuan itu masih sangat muda. Usianya mungkin 1-2 tahun di bawahku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun