Entah aku harus bahagia atau merasa bersalah ketika Vee memelukku di tepi sumber. Separuh tubuh kami masih terbenam di beningnya air. Selama beberapa saat, Vee menyandarkan kepalanya di dadaku. Aku memeluk bahunya.
"Van, aku tahu ada banyak beban, ingatan, ataupun keinginan yang menyebabkanmu sampai terjatuh ke Jurang Sajiwo. Banyak manusia berharap mendapatkan hal-hal terindah dalam hidup mereka. Banyak manusia berharap kehidupan yang mencerahkan. Tapi, mereka tak juga mampu mengerti apa sebenarnya yang mereka inginkan. Pada suatu ketika kamu akan memahami, Van, kalau perjalanan kita sebagai manusia masih sangat jauh: ke belakang, ke depan, jauh dan sangat jauh, tetapi sebenarnya semua terjadi pada waktu kita bernafas. Pada suatu ketika kamu akan ditarik kembali oleh ingatan-ingatan lampau yang lebih menyedihkan dari apa-apa yang sudah pernah kau jumpai.Â
Pada suatu ketika pula kamu akan ditarik jauh ke depan oleh keinginan-keinginan yang tidak pernah terpahami oleh akal. Pada suatu ketika itulah kita akan selalu bertemu. Kita bertemu oleh doa yang tidak pernah meminta dan tidak pernah bersuara. Doa itu adalah tarian hidup dan keyakinan yang sebenarnya, yang selalu kita manjing-kan menjelang dini hari, ketika embun hendak mencumbu debu." Ucapan Vee seperti air yang tiba-tiba menyiram kepalaku. Seperti ada kekuatan alam yang mendorongku untuk tidak menutupi kegundahan, kebingungan, dan beban batin yang selama ini aku pendam.
"Aku lelaki dengan banyak keinginan terhadap cinta dan hidup, tetapi masih saja tak mampu memperkuat batinku untuk mewujudkannya. Kebodohan itulah yang menjadikan impian dan keinginanku seperti semakin jauh dari kenyataan. Banyak orang di dekatku yang bercerita capaian-capaian besar sebagai manusia, tetapi aku masih tidak ingin meyakininya. Beberapa perempuan yang semestinya aku perjuangkan, harus aku abaikan, atau tepatnya, aku sakiti, karena ketidakmampuanku untuk memahami mereka. Aku sering ragu dalam menentukan sikap pribadiku terkait persoalan-persoalan itu, Vee. Mungkin sudah benar, Sang Penghidup mempertemukan kita di jurang ini, biar aku bisa memahami arti sebuah keterikatan denganmu."
"Belum tentu kau akan kuat menemaniku di Sajiwo, Van. Tempat ini terlalu sunyi bagi cinta dan hasrat yang terlalu bergairah seperti yang kau bawa. Anggap saja tempat ini sebuah romansa semesta bagi kita untuk tersenyum, menangis, atau berharap ketika membaca ataupun meninggalkan semua kisah tentang aku, kau, dan orang-orang yang pernah menulis cerita dalam hari-hari panjang kita. Sajiwo menyediakan segala yang kita butuhkan untuk mengingat, memasuki, dan melupakan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kita." Â
"Iya, Vee, karena aku tahu apa yang mestinya aku lakukan saat ini adalah berusaha untuk semakin meyakinkan batinku bahwa aku memang terikat denganmu, meskipun mereka tetaplah kehidupan yang tak akan pernah berhenti melukis apa yang perlu dilukis dalam perjalanan hidupku, atau hidup kita di Jurang Sajiwo."
"Semoga, Van."
Sebuah kecupan di keningku mengakhiri mandi kami. Menuju gubuk dan berharap akan ada kisah-kisah lain bersamanya adalah sebuah kepastian. Apalagi kami mulai bisa saling tertawa, sembari menikmati bubur singkong setengah gosong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H