Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku dan Seorang Perempuan di Jurang Sajiwo

1 Maret 2020   07:21 Diperbarui: 8 November 2021   19:01 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mungkin apa yang aku katakan terdengar cengeng. Kamu mungkin mengira kalau aku penakut dan pengecut. Tapi jujur, aku benar-benar tidak mau terikat dengan seorang lelaki untuk saat ini," ujarnya sambil menyeka sisa-sisa air mataku yang masih mengalir.

"Mengapa harus seperti itu, Vee? Atau, mungkin kehadiranku yang menjadikannya seperti itu?"

"Tidak, tidak. Kamu tidak salah, Van. Sudah lama aku mencoba bertahan dalam kesendirian, mematikan tubuh dan pikiranku dari hal-hal yang bersifat mengikat."

"Vee, terikat dengan orang lain bukanlah dosa. Itu sudah menjadi hakikat setiap manusia. Sekeras apapun kamu berusaha menutup mata dan batinmu terhadap orang lain, kamu tidak bisa menolak naluri terikat itu."

"Ya, aku tahu, Van. Dan, semua hasrat terikat itulah yang aku lawan selama ini. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa mengalahkan semua keterikatan dengan manusia lain. Aku bisa hidup sendiri, tanpa harus terikat dengan keluarga, masyarakat, atau orang-orang terdekat yang hanya memberiku penderitaan. Aku bisa, Van. Di sini aku bisa mewujudkan itu semua. Aku merdeka di sini. Aku bisa mengatur diriku sendiri. Aku berhasil membebaskan tubuhku dari semua perintah dan paksaan. Makanya, aku beri nama tempat ini Jurang Sajiwo, satu jiwa, hanya jiwaku yang ada terus-menerus, tanpa segala paksaan."

Aku hanya bisa diam sembari terus memandangi wajahnya. Aku tidak tahu apakah aku bisa membebaskan pikiranku, melepaskan semua hasrat terikatku, seperti Vee melepaskan semuanya.

"Mau tidak mau, cepat atau lambat, di tempat sesunyi ini pasti kita akan terikat, entah bagaimana bentuknya, Vee."

Di hanya diam memandanng ke arahku. Lalu, ia menuju jendela. Menyandarkan tubuhnya, memandang ke arahku kembali.

"Masalahnya, sudah sekian lama aku meyakinkan pikiranku bahwa aku memang sudah ditakdirkan untuk menghabiskan hidup sendiri di tempat ini, tanpa seorang teman. Ketika motor yang aku kendarai dari Banyuwangi tercebur ke jurang ini, aku berpikiran sepertimu: mati. Ketika aku terbangun dan masih bisa merasakan semua suasana di jurang ini, aku berusaha untuk berteriak meminta tolong. Percuma, tidak ada orang di atas sana yang mendengar. Seperti ada tabir yang menghalangi suaraku untuk sampai ke atas. Dalam keputusasaan, akhirnya, aku mempersiapkan segala kemungkinan, Van. Termasuk ketika harus mati sendirian di tempat ini. 

Mungkin itu lebih baik dari pada aku harus hidup di dunia atas dan menjalani pernikahan yang tidak pernah aku sepakati: menikah dengan seorang haji beristri empat karena orang tuaku berhutang puluhan juta kepadanya. Dalam kesendirian dan kesenyapan di jurang ini, aku mulai belajar untuk mempersiapkan kematianku kelak. Tapi, semenjak tubuhmu jatuh di tempat ini, aku merasa ada sesuatu yang pasti akan terjadi, meskipun saat itu kamu dalam keadaan pingsan. Setelah kamu sadar dan kita menjalani hari-hari bersama, pikiran tentang kesendirianku mulai terusik. Aku berusaha keras untuk meyakinkan pikiranku bahwa aku tetap ditakdirkan sendiri. Aku masih memaksa naluriku untuk tidak terikat denganmu, Van."

"Aku bisa memahami kondisimu, Vee. Jujur, aku sendiri belum siap untuk melepaskan semua keterikatanku dengan dunia di atas sana. Aku punya sejarah, aku punya memori, aku punya mimpi, dan aku mungkin masih menyimpan masa depan dalam pikiranku. Ketika aku menjalani kehidupan bersamamu di tempat ini, aku belum bisa menghilangkan semua itu. Mengerikan, Vee. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun