Di dalam pengapnya udara angkot pada siang itu, Nortier Simanungkalit sedang berpikir keras. Ia mengemban mandat dari Ketua KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia), Sri Sultan Hamengku Buwono IX, untuk mencipta mars dan himne untuk Sea Games –pesta olahraga terbesar seAsia Tenggara– yang akan diselenggarakan di Jakarta. Di atas kendaraan umum itulah Pak Kalit –panggilan akrabnya– mendapat wangsit, memeroleh inspirasi brilian. Tak main-main, dua konsep lagu sekaligus langsung nyantol di kepalanya hanya dalam 30 menit perjalanannya dengan bus kota itu. Keduanya lagu khas Jawa, laras pelog untuk mars, slendro buat himne,. Konsep yang masih melekat di benaknya itu langsung digarap habis-habisan, dan jadilah lagu mars sekaligus himne untuk perhelatan akbar Sea Games.
Nortier Simanungkalit menganut satu prinsip dalam bermusik, “Mars adalah induk seluruh lagu.” Itulah sebabnya mengapa komponis ulung ini tetap bersetia di ranah musik mars dan himne. Jalur yang tak populer inilah yang justru membawa namanya dikenal dunia. Kalit pernah menemani santap siang Richard Nixon, Presiden Amerika Serikat, pada 1972. Ketika itu Kalit bertugas sebagai juri Festival Paduan Suara Mahasiswa Internasional di negeri Paman Sam. Selain itu, sekurun 1968-1981, ia menjadi anggota International Music Council UNESCO. Yang terbaru, tahun 1999, Kalit diminta untuk mencipta lagu himne oleh Palang Merah Amerika. Tugas ini ia selesaikan dalam waktu sebulan dan hasilnya sangat memuaskan. Medali Special Recognition pun disematkan di dadanya atas prestasi yang gilang-gemilang itu.
Musikolog kelahiran Tarutung, Sumatera Utara, pada 17 Desember 1929, itu sempat merasakan kerasnya dunia kemiliteran dengan mengemban jabatan sebagai Komandan Tentara Pelajar Sub-Teritorial VII Sumatera Utara. Nalurinya musikalnya menuntun Kalit untuk meletakkan senjata dan nyemplung ke ranah irama. Maka menjelmalah seorang Nortier Simanungkalit menjadi salahsatu legenda musik Indonesia, yang sangat piawai khususnya dalam mencipta lagu mars dan himne. Patut dicatat, Kalit tak pernah belajar musik secara khusus, ia seorang musikus otodidak. Bakat musiknya alamiah karena ia dilahirkan dan besar di lingkungan basis pendidikan musik dan pendidikan seminari Protestan.
Proses pembelajaran sendiri ini akhirnya memengaruhi cara Kalit menyusun komposisi. “Karena saya tidak pernah menempuh pendidikan formal, saya harus menguatkan ungkapan perasaan musikal saya melalui imajinasi. Saya seolah-olah mendengar alunan lagu pada saat saya mengarang sebuah lagu. Komposisi nada, irama, harmoni, dan suara penyanyinya terbayang dalam benak saya. Inspirasi itu lalu segera saya tulis pada secarik kertas, yang kemudian saya sempurnakan agar dapat dibaca dan dimainkan oleh orang lain,” aku Kalit seperti yang dikatakannya kepada seorang wartawan dan mantan aktivis paduan suara Universitas Jember, Lambertus L. Hurek.
Kalit mulai mencipta lagu-lagu mars dan himne sejak remaja. Namun ia sempat pula mengarang lagu bergenre pop. Lagu berjudul Sekuntum Bunga di Taman itu ia ciptakan ketika masih menjadi mahasiswa baru di Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Ketika lagunya diputar di RRI (Radio Republik Indonesia) Jogjakarta, semangat menciptanya kian menggebu. Hasilnya, ratusan lagu berkualitas meluncur mulus dari hati, otak, dan tangannya.
Kepasrahan hidup untuk mengabdikan diri di dunia musik, utamanya paduan suara, menuntun Kalit menjalani jejak karirnya. Bersama dengan Umar Kayam, ia membentuk dan memimpin Paduan Suara Mahasiswa UGM. Dari tahun 1957 hingga 1964, ia menjadi guru seni suara di sebuah SMA di Jogjakarta. Pada 1966, Kalit diangkat sebagai Kepala Dinas Musik pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya, pada 17 Januari 1963, ia mendirikan dan membina Paduan Suara Pusat Olah Vokal (POV). Sekurun 1967-1989, Kalit dipercaya sebagai Ketua Dewan Juri Bintang Radio dan Televisi. Ia juga pernah mendapat kepercayaan untuk menjadi penasihat Paduan Suara Mahasiswa di ITB (Intitut Teknologi Bandung). Kalit bahkan sempat menjadi anggota MPR pada periode 1987-1992.
Sebelum mencipta lagu, Kalit selalu berdoa dulu. “Tuntunlah saya supaya berhasil membahagiakan orang yang menerima lagu ini,” begitu bunyi doanya seperti yang diungkapkan Kalit dalam majalah Gatra edisi 16 April 2004. Setelah itu, ia melakukan perenungan. Kadang lirik yang lebih dulu muncul, baru kemudian lagunya. Kadang sebaliknya. Sedangkan inspirasinya bisa didapat dari sembarang tempat, misalnya di bus kota seperti ketika ia mendapatkan komposisi lagu mars dan himne untuk Sea Games.
Hingga akhir 2006, Kalit mengaku sudah mencipta lebih dari 300 lagu. Karya puncak Kalit, seperti yang diakuinya, adalah lagu bertajuk Warisan III yang diciptakannya pada 1988-1992. Lagu ini merupakan salahsatu dari trilogi Warisan yang terinspirasi dari kondisi di Indonesia pascakemerdekaan. Warisan III mencerminkan keresahan dan keprihatinannya sebagai anak negeri terhadap moral bangsa yang masih jauh dari harapan.
Inilah keresahan terbesar Kalit, apalagi ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa musik paduan suara mulai kurang diminati oleh kalangan muda di Indonesia. Kalit menuding terjangan musik komersial sebagai biang keladinya. “Saya lihat anak-anak muda sekarang cenderung ke dangdut. Situasinya sangat buruk,” ungkapnya. Bagi Kalit, musik yang baik harus memenuhi keseimbangan empat unsur penting, yakni melodi, harmoni, ritme, dan timbre. Keseimbangan itu harus jelas terutama untuk paduan suara atau musik klasik sehingga menghasilkan harmoni. “Rock, hard rock, metal, yang hanya mementingkan unsur ritme saja adalah racun. Melodi nggak ada, jadi tidak ada yang mengalir. Timbre juga tidak ada, hanya keyboard dan gitar. Warna string nggak ada,” keluh Kalit seperti dikutip dari Kompas edisi 22 Agustus 1999.
Banyak pihak yang memercayakan pembuatan lagu untuk mars, himne, atau paduan suara, kepadanya, baik dari dalam maupun luar negeri. Mulai dari instansi pemerintah, swasta, kampus, hingga partai politik. Himne Golkar dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia) adalah hasil kreasinya, begitu juga mars Pemilu tahun 1999 dan 2004. Kalit pula yang mencipta irama untuk Senam Pagi Indonesia dan Senam Kesegaran Jasmani pada 1980-an yang sempat sangat familiar itu. Tak pelak, sejumlah penghargaan pun menghampirinya, termasuk penghargaan Lifetime Achievement dari Koalisi Media KPU dan SCTV.
Kalit memendam cita-cita besar untuk bangsanya. Ia ingin mendirikan paduan suara di seluruh pelosok tanah air dengan tujuan menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia musikal supaya harkat, daya nalar, dan intelektualnya tinggi. “Dengan menjadi bangsa yang musikal, Indonesia tidak akan tertinggal dengan bangsa lain,” tegas suami seorang putri dari Solo, Sri Sugiarti, ini. Bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai musik, dan Kalit percaya bahwa suatu saat Indonesia bisa sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju itu.
Iswara N. Raditya, Penikmat Musik Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H