Nadiku berhenti berdetak mengalunkan rasa yang sebelumnya kita agungkan, kisah yang terukir di atas jiwa-jiwa kesepian dan keterasingan diantara gemuruh dan hiruk-pikuk jeruji ikatan yang mengatasnamakan asmara, tak mampu kita pungkiri bahwa kita terjebak di dalam jiwa yang haus akan 'kepemilikan' merampas semua isi jiwa dan dunia tanpa perduli kan lara yang menikam. Tak ada yang memperdulikan, sampai jiwa kita mengais asa di antara jutaan jiwa, dan akhirnya kita sendiri yang terikat di dalam rasa yang begitu asing namun mampu membuat jiwa begitu kuat dan lekat memeluk renjana jiwa tanpa memasung jiwa juga dunia.Â
Hingga ku lupa rasa ini kian menjerat kita, memabukkan rasa dan ku milih merampas kebahagiaan kita dengan menikam jiwamu berkali-kali. Ku tak menginginkan keangkuhan rindu merampas 'kebebasan' kita. Hingga ku hancurkan jiwaku sendiri untuk membuat mu tersenyum memeluk kebahagiaan bersama jiwa lain, walaupun dirimu tak pernah menginginkan nya, namun ku bersikeras mengorbankan rasa dan jiwamu.Â
Kini setelah ku mencoba berlari dan menjauhi jiwamu, melukaimu dengan caraku, berharap ku mampu begitu saja menghapus kan dirimu dari jiwa ku, namun nyatanya ku bak pesakitan yang semakin merengkuhmu, menjadikan setiap jiwa yang ku temui adalah dirimu, nyatanya ku tak pernah mampu menggantikan jiwa mu dengan siapapun. Tak akan pernah yang mampu menggoyahkan renjana jiwaku akan rasa padamu, jiwaku tetap merengkuhmu hingga ke alam mimpi pun hanya dirimu yang ku peluk begitu eratnya, hanya dirimu Bii....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H