Mulai dari pertengahan bulan lalu hingga awal bulan ini, media cetak, media elektronik hingga media sosial dipenuhi dengan kabar mengenai PEMILU yang akan diadakan pada 9 Juli 2014. Mulai dari cekcok para pendukung, isu black-campaign hingga debat antara dua kubu. Namun satu hal yang saya dapat dicermati dari debat tersebut adalah pada visi-misi pendidikan kedua Capres tidak ada yang menyertakan visi-misi yang secara khusus mengenai pendidikan bagi anak dan remaja berkebutuhan khusus. Mengapa? Hal ini menggambarkan bagaimana pendidikan bagi ABK (anak berkebutuhan khusus) masih dikesampingkan di negara kita.
Kalau ada yang bertanya apa sih ABK itu? ABK adalah anak yang mengalami gangguan/hambatan dalam proses perkembangannya, baik pada aspek fisik & motorik, kognitif, emosi maupun sosial. Lalu apakah pendidikan penting bagi ABK? Jawabannya tentu saja, hal ini bahkan tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 tahun 1989 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.20/ 2003. Pada Undang-Undang tersebut bab IV (pasal 5 ayat 1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik, emosionl, mental, intelektual atau sosial berhakmemperoleh pendidikan khusus.
Pendidikan khusus dirasa sangat penting guna mengoptimalisasikan perkembangan ABK dimana mereka memiliki hak yang sama dengan anak pada umumnya yaitu untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan disini akan membekali ABK untuk mejadi lebih mandiri karena ABK seperti anak pada umumnya memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Fungsi pendidikan adalah untuk mengupayakan agar seluruh kekuatan maupun potensi yang dimiliki oleh ABK dapat teraktualisasi.
Saat ini di Indonesia, kekhususan sendiri tidak dipandang dari segi medis dimana menurut perspektif ini apabila kekhususan tersebut tidak dapat disembuhkan maka anak tersebut hanya akan dikasihani. Menurut perspektif ini ABK tidak dapat dididik. Sedangkan pada kenyataannya di Indonesia sendiri terdapat sekolah khusus maupun inklusi yang dapat mendidik ABK. Perspektif yang ada saat ini lebih mengarah ke hak asasi dimana ABK juga memiliki hak untuk sekolah maupun bekerja. Karena hal tersebut, maka pendidikan berperan penting guna membekali siswa ABK untuk menghadapi hal tersebut.
Pendidikan memang tidak selalu harus dilaksanakan melalui lembaga formal seperti sekolah namun pendidikan juga dapat dilakukan pada taraf keluarga yang dirasa sangat penting dan memberikan dampak yang besar pada perkembangan anak. Yang perlu diperhatikan agar pendidikan ABK memperoleh hasil yang optimal diantaranya adalah beri ABK kesempatan belajar seluas-luasnya, pahami kondisi dan karakteristik spesifik anak, perhatikan indera yang masih dimiliki dan berfungsi dalam proses belajar, temukan potensinya dan sesuaikan kembali cara mendidik sehingga kita dapat menentukan jenis pendidikan yang sesuai dengan anak.
Jenis pendidikan formal bagi ABK sendiri ada tiga yaitu khusus, integrasi dan inklusi. Sekolah khusus dapat kita jumpai dalam bentuk SLB (Sekolah Luar Biasa) yang berbagai macam. Untuk sekolah integrasi, sistem yang diterapkan adalah ABK diperbolehkan masuk ke sekolah bersama anak-anak pada umumnya namun ABK-lah yang harus menyesuaikan diri dengan sekolah bukan sebaliknya. Untuk bentuk pendidikan Inklusi seperti integrasi namun sekolah tahu betul apabila masing-masing anak itu unik sehingga sistem pembelajaranlah yang disesuaikan dengan kebutuhan anak. “Hambatan utama bagi seorang anak berkebutuhan khusus pada dasarnya bukanlah /disabilitas itu sendiri, melainkan sikap masyarakat yang negatif terhadap disabilitas”, pernyataan Hellen Keller itu mengisyaratkan bahwa ABK tetap membutuhkan lingkungan yang kondusif bagi mereka untuk bersosialisasi. Hal tersebut sejalan dengan pengadaan sekolah inklusi. Memilih jenis pendidikan yang tepat akan membantu anak guna meraih apa yang diinginkan dan optimalisasi dari perkembangan anak tersebut.
Sayangnya, penyelenggaraan pendidikan bagi ABK di Indonesia sendiri masih kurang maksimal. Misalnya di Surabaya, saat ini jumlah SD inklusi di Surabaya mencapai 50 sekolah, SMP sebanyak 10 sekolah dan akan ditambah 10 sekolah lagi pada tahun ini, sehingga menjadi 20 sekolah. Sedangkan di SMA ada 2 sekolah, serta SMK juga 2 sekolah. Hal ini jelas tidak berimbang dan masih timpang dengan tujuan pendidikan untuk optimalisasi perkembangan ABK. Selain itu masalah infrastruktur yang mendukung ABK juga dirasa masih kurang. Oleh karena itulah, diharapkan calon pemimpin negeri kita di masa ini dan masa yang akan datang untuk lebih menengok kepada kebutuhan akan pendidikan anak berkebutuhan khusus sehingga mereka mampu berkembang secara optimal dan mampu berfungsi dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H