Akar kesuksesan adalah pendidikan. Pendidikan ibarat siraman pupuk bagi pohon kehidupan. Siraman air memang cukup untuk membuat sebatang pohon hidup, tetapi pohon yang diberi pupuk tentu memiliki perbedaan dengan pohon yang hanya disiram air. Itulah kenyataan. Pupuk membuatnya tumbuh lebih cepat. Bahkan mungkin lebih indah dan lebat. Meski kenyataannya tidak semua pohon diberi pupuk, begitupun tidak semua anak mendapatkan pendidikan yang cukup.
Cukupkah wajib belajar 9 tahun beserta janji manis pendidikan gratis untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anak menyongsong masa depan yang cerah? Ini pertanyaan yang serius ketika kita menyadari bahwa tidak setiap anak dikaruniakan anugrah kelahiran di keluarga mumpuni, otak yang brilian atau gizi yang baik. Setelah 9 tahun, kemana mereka harus pergi? Saat beasiswa perguruan tinggi hanya menjadi pilihan bagi mereka yang punya keberuntungan otak cerdas. Sisanya? Pasrah pada takdir yang seolah tidak berpihak pada yang lemah. Lemah jasmani dan ekonomi. Inilah kenyataan sebesar gajah di pelupuk mata.
Hei, bagaimana anda mengharapkan mereka yang datang dari kolong jembatan menelan DHA yang cukup dalam kandungan ibunda? Terlalu banyak universitas "ngelawak" dengan memberikan beasiswa semata-mata untuk menjaring anak-anak berprestasi demi kepentingan marketingnya, tanpa tergelitik dengan jiwa-jiwa haus pendidikan yang mengemis kesempatan. Miris melihat hati hijau yang tak lagi geli dengan kemanusiaan. Terutama terjadi di Universitas Negri sekalipun.
Pada suatu hari, hiduplah seorang pemuda yang bekerja sebagai pelayan di sebuah tempat makan. Seorang pengunjung bertanya padanya,"mengapa kamu bekerja sebagai pelayan?" Pemuda tersebut pun menjawab,"saya tidak punya uang untuk kuliah." Seperti layaknya pertanyaan yang seringkali dilontarkan banyak orang,"mengapa tidak mencari beasiswa?" tanya pengunjung itu lagi penasaran. Sebab tampak pintar pemuda di hadapannya. Pemuda itu pun tertawa sejenak,"sudah pernah, bahkan sudah pindah-pindah kampus. tapi beasiswanya selalu putus di jalan, karena gak bisa dapet IPK (indeks prestasi kumulatif) empat (angka empat adalah ipk maximum yang seringkali disyaratkan pada penerima beasiswa)." Pengunjung tersebut pun coba memotivasi,"kenapa gak kerja sambil nabung buat kuliah?" Pelayan itu menghela napas,"Andai saya bisa. Saya cuma pelayan, berapa gaji saya? untuk keperluan sehari-hari saja saya sudah susah."
Cerita di atas diambil dari sebuah kisah nyata. Kisah nyata polemik pendidikan yang memprihatinkan di negeri kita. Jangan heran kalau banyak orang akhirnya memilih untuk menyerah pada nasib dan mengubur dalam-dalam cita-cita masa kecilnya. Jangan heran kalau banyak orang berhenti bermimpi dan menjalani hari-hari dengan hati yang marah pada dunia. Sementara sebagian lagi melakukan jalan-jalan pintas untuk merebut keadilan dengan mencuri, membunuh, atau bahkan menipu. Bagaimana kita mengharapkan mereka yang dibesarkan oleh pelukan ketidakadilan dunia mengerti arti keadilan?
Salah satu dampak dari ketidakadilan pendidikan adalah maraknya aksi jual beli ijazah palsu di dunia pendidikan. Terlepas dari artis dan pejabat bodoh yang menggunakannya demi keserakahan, terselip mereka yang memilih jalan pintas untuk meloncati nasib. Memanfaatkan lembaran-lembaran haram untuk bertahan hidup.
Bagaimana proses permainan jual beli ijazah palsu tersebut? Semuanya terangkum bersama kesaksian-kesaksian penjual dan pemakainya, dalam sebuah film dokumenter berjudul Sarjana Aspal. Film tersebut akan ditayangkan pada Sabtu 29 September 2012, di Gallery Erasmus Huis Jakarta (Jl. HR Rasuna Said Kav. S-3), pukul 09.30 AM. Film tersebut akan ditayangkan bersama film-film dokumenter lain yang sedang berkompetisi dalam ajang SBM International Golden Lens Documentary Award. Gratis untuk siapa saja yang ingin menonton! Usai menonton, anda bisa mendukung film "Sarjana Aspal" atau film dokumenter lainnya agar terpilih menjadi film favorit penonton dengan memberikan voting suara anda. Salam keadilan pendidikan! (Deirdre Tenawin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H