“Kubiarkan, kumengerti, suara dalam hati yang slalu membunyikan cinta. Kupercaya dan kuyakini murninya nurani menjadi penunjuk jalanku, lentera jiwaku.” (Syair lagu Lentera Jiwa, Agustinus Gusti Nugroho -- Nugie)
Lentera jiwa tidak seharusnya padam oleh keterbatasan. Andy Noya membuktikan itu. Lahir dari keluarga yang tidak terlalu mapan, pria yang identik dengan rambut kribonya ini nyaris berhenti di bangku sekolah dan tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tidak mampu menyediakan biaya kuliah, orangtuanya menyekolahkan Andy di STM 6 Jakarta, jurusan mesin, dengan harapan bisa langsung bekerja pasca lulus sekolah.
Andy tidak protes sekalipun teknik bukan merupakan bidang kegemaranny. Ia berusaha mengerti keadaan orangtuanya. Padahal sejak kecil Andy sudah jatuh cinta pada dunia tulis menulis dan bercita-cita menjadi wartawan. Bakat itu justru semakin berkembang ketika Andy menempuh pendidikan di STM 6 Jakarta. Berbagai penghargaan dari perlombaan mengarang dan menulis pun diboyongnya pulang.
Di sekolah, Andy memang termasuk siswa yang berprestasi dan cerdas. Bahkan ia lulus sebagai lulusan terbaik di STM 6 dan mendapatkan tawaran beasiswa ke IKIP Padang. Akan tetapi beasiswa itu tidak pernah diambil. Kesadaran akan bakat dan minat yang besar di bidang tulis menulis, membawa Andy memilih untuk masuk Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP)). Padahal Sekolah Tinggi Publisistik (STP) tidak menerima lulusan STM.
Keberanian memperjuangkan lentera jiwa itulah yang membuat Andy Noya, didampingi ibunya, terus berusaha mendaftar sekalipun berkali-kali ditolak. “Akhirnya pihak STP kasihan atau mungkin juga jengkel sehingga mereka menerima saya dengan syarat kalau semester pertama nilai saya jelek, saya harus keluar,” aku Andy. Berbekal surat rekomendasi dirjen pendidikan tinggi yang disyaratkan rektor STP (Ali Mochtar Hoeta Soehoet), Andy akhirnya diijinkan mendulang ilmu di STP. Pria yang juga mahir menggambar kartun dan karikatur ini, bukan hanya membuktikan kalau nilai-nilainya tidak jelek, namun juga mampu bersaing dengan teman-teman seangkatannya. Bahkan ia sudah ditawari menjadi asisten dosen di tahun kedua perkuliahannya.
Selama kuliah Andy tinggal bersama kakaknya yang sudah menikah. Setiap pagi sebelum kuliah, Andy harus membantu kakaknya memandikan keponakan, mengantarkan ke sekolah, mencuci piring, dan membersihkan rumah. Setelah semua beres, pemuda keturunan Ambon, Jawa dan Belanda ini baru bisa berangkat kuliah. Pada siang hari, Andy harus kembali menjemput keponakannya yang pulang sekolah. Perjuangan yang tidak dirasakan semua mahasiswa seusianya.
Kesuksesan seseorang memang selalu diawali dengan keberanian memperjuangkan apa yang dianggap orang lain tidak mungkin. Menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Publisistik menjadi awal bagi seorang Andy Noya menapaki jalan kehidupannya sebagai seorang jurnalis. Di tahun 1985, untuk pertama kalinya Andy terjun sebagai reporter saat masih di bangku kuliah. Ia membantu majalah Tempo dalam penerbitan buku berjudul Apa dan Siapa Orang Indonesia. Pada tahun yang sama, Andy juga diminta bergabung sebagai wartawan harian ekonomi Bisnis Indonesia.
Dari sana, Andy Noya melanglang dari satu perusahaan media ke perusahaan lainnya. Dua tahun berkarir sebagai wartawan majalah Tempo, Andy dipanggil Fikri Jufri untuk bergabung majalah Matra. Andy menerima tawaran wartawan senior majalah Tempo tersebut. Tahun 1992, salah satu pengusaha media, Surya Paloh, mengajak Andy untuk menjadi bagian dari suratkabar Media Indonesia. Kemudian pada tahun 1994-1999, Andy sempat jadi host dalam program Jakarta Round Up dan Jakarta First Channel di radio Trijaya.
Karirnya semakin memuncak ketika PT Sindo, anak usaha RCTI yang menaungi Seputar Indonesia, bergabung dengan RCTI sebagai induk di tahun 1999. Di sana Andy diminta untuk memimpin program Seputar Indonesia yang kini menjadi kebanggaan RCTI.
Seolah enggan kehilangan sosok pria yang berintegritas ini, Surya Paloh secara khusus membuat stasiun televisi untuk Andy Noya. “Karena terus ingin berkembang, waktu itu saya tidak puas hanya menjadi jurnalis media cetak. Saya ingin menguji kemampuan saya di dunia broadcast, yakni menjadi wartawan televisi. Saya kemudian pamit pada Surya Paloh, tapi tidak diijinkan. Dia berusaha menahan saya agar tetap di Media Group. Dia lalu berjanji akan membuat televisi sendiri agar saya bisa terus berkarya bersama Media Group. Janji itu dia wujudkan tak lama kemudian”, ungkap pria asal Surabaya yang di akhir tahun 1999, dipercaya menjabat sebagai pemimpin redaksi di Metro TV.
Andy Noya sempat kembali ke suratkabar tiga tahun setelahnya, sebagai pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia. Hingga tahun 2006, ia memegang jabatan rangkap sebagai wakil pemimpin umum Media Indonesia sekaligus pemimpin redaksi Metro TV. Di tahun 2006 pula, Andy Noya didaulat menjadi host acara Kick Andy. Sebuah program talkshow yang sangat identik dengan dirinya, hingga hari ini.
Kick Andy telah membawa nama Andy Noya dikenal di seluruh penjuru Indonesia. Penonton setia Kick Andy mengenalnya sebagai sosok host yang selalu melemparkan pertanyaan tajam tanpa tedeng aling-aling kepada setiap narasumber yang diundang ke studio Metro TV. Sebuah usaha mengorek kebenaran tanpa pandang bulu. Dari AA Gym, Harmoko sampai Sri Sultan HB X pernah merasakan pedasnya pertanyaan yang mengalir dari Andy Noya. Akan tetapi, Andy mengaku tidak sedikit pun takut dimusuhi tokoh-tokoh besar tersebut. “Selama hati kita bersih dan tidak ada agenda terselubung, pertanyaan yang tajam tersebut tidak akan menyakiti hati orang yang kita wawancarai,” tuturnya penuh keyakinan.
Sikapnya yang selalu mempertahankan kredibilitas dan independensi membuat Andy bisa dengan rileks melontarkan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada narasumber. Semuanya itu ia lakukan semata-mata demi mewakili kepentingan masyarakat. Hal itu juga yang menyebabkan hubungannya dengan para narasumber tetap baik pasca wawancara, sekalipun pertanyaan-pertanyaan keras kerap kali dilontarkannya.
Sosok kritis namun humoris di layar kaca, ternyata juga dibawa Andy dalam keseharian kehidupannya sebagai suami dan ayah tiga anak. ”Sejak awal saya katakan kepada teman-teman di tim Kick Andy bahwa saya ingin menjadi diri saya sendiri. Baik di televisi maupun di dalam kehidupan sehari-hari. Saya ingin seperti apa adanya.” Ya, menjadi apa adanya dan diperlakukan biasa adalah hal yang diharapkan Andy.
Program Kick Andy bukan hanya melambungkan namanya. Lebih daripada itu, Andy Noya menabung banyak pelajaran berharga di setiap episodenya. Hampir semua kisah yang tayang di acara Kick Andy menyodorkan nilai-nilai kehidupan yang nyata. Salah satu kisah yang paling membekas di benak Andy, yakni tentang seorang pria tunanetra dengan ibunya yang renta. Walau hidup dengan ekonomi pas-pasan, pria tunanetra dan ibunya itu pantang mengemis. Mereka memilih untuk berjualan sapu lidi dan berkeliling sejauh 40 kilometer setiap hari dengan penghasilan maksimal hanya Rp 15.000,00. Sebuah angka penghasilan yang terbilang jauh bila dibandingkan dengan pendapatan per hari seorang pengemis yang bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
Kisah pria tunanetra dan ibunya itu juga yang membawa Andy bersama teman-temannya mendirikan Kick Andy Foundation (KAF). Basis kegiatan dari KAF ini secara khusus yaitu membantu masyarakat yang tidak mampu. ”Bersama relawan yang tergabung di KAF, sampai saat ini kami banyak melakukan aktivitas sosial. Belakangan saya semakin yakin Tuhan sudah mengatur semua ini sebagai jalan hidup saya,” ungkap pria yang sempat ingin keluar dari Kick Andy, namun mengurungkan niatnya karena menimbang efek program Kick Andy yang telah membantu banyak orang.
Agaknya, itu bukan yang pertama kali timbul keinginan dalam dirinya untuk keluar dari Media group. Keinginan yang sama pun muncul ketika ia masih menjabat sebagai pemimpin redaksi di Metro TV sekaligus di Harian Media Indonesia. Hal itu muncul saat Andy membaca sebuah buku yang berjudul Who Moved My Cheese. ”Kisah di buku itu seakan menyadarkan saya bahwa berbahaya sekali jika seseorang sudah berada di zona nyaman. Dia tidak akan tergerak untuk terus berkembang. Nah, karena saya sudah mencapai jabatan tertinggi di organisasi pers, saya juga sudah mulai merasa nyaman. Karena itu saya harus mencari tantangan baru.” Walaupun pada akhirnya pria penyuka tantangan ini tidak jadi keluar setelah dibujuk Surya Paloh.
Saat ini, selain memandu program Kick Andy dan KAF, Andy juga menerbitkan Majalah Kick Andy dan Majalah Rollingstone. Selain itu, program baru berjudul Kick Andy HOPE juga dipercayakan Metro TV kepadanya. Selebihnya ia aktif di berbagai kegiatan sosial bersama istri tercinta. Bersama Upie, sang istri, Andy mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kampung Dadap, Serpong. Suatu bakti sosial kepada masyarakat sebagai ekspresi ketaatannya kepada Allah yang adalah teladan kasih.
Pernah pula Andy mengalami masa-masa berat dengan penuh pergumulan di hadapan Tuhan. Salah satunya ketika kepenatan muncul akibat harus menanggung seluruh beban keluarganya, baik secara materi maupun problematika. Dengan penghasilan yang tidak seberapa besar waktu itu, ia bukan hanya harus membiayai kehidupan anak dan istrinya, namun juga ibunya, kedua kakak beserta delapan keponakannya. Belum lagi ditambah pemasalahan perceraian, yang dihadapi dua kakaknya, keponakan yang terjerumus narkoba, dan penyakit kanker yang menyerang ibu dan kedua kakak perempuannya. Andy pun marah pada Tuhan.
Beruntung Andy punya seorang istri yang luar biasa, "Istri saya selalu mengingatkan bahwa Tuhan telah memilih kami sebagai saluran berkat. Dia juga tidak keberatan gaji yang kami peroleh hanya "numpang lewat". Sejak itu hidup saya lebih rileks. Saya lebih bersyukur. Ajaibnya, dengan gaji yang sedikit itu, saya tidak pernah kekurangan. Bahkan sekarang berkat itu melimpah luar biasa. Puji Tuhan.”
Kini hanya satu prioritas Andy yaitu membahagiakan keluarganya dan dengan keterbatasan yang ia miliki, berusaha membantu orang-orang yang berkesusahan. Andy punya kerinduan agar dalam 5 sampai 10 tahun ke depan ini ia bisa memiliki organisasi sosial dengan dukungan pendanaan yang kuat, sehingga bisa berbuat lebih banyak untuk membantu orang-orang miskin dan mereka yang sudah berbuat banyak dalam keterbatasan.
BIODATA
Nama : Andy Noya
Tempat dan tanggal lahir : Surabaya, 6 November 1960
Hobi : Membaca
Tokoh yang dikagumi :
Nelson Mandela. Selama 27 tahun dia menderita di bawah rezim apartheid. Tapi begitu bebas dan terpilih sebagai pemimpin Afrika Selatan, dia mengampuni orang-orang yang membuatnya menderita serta mengajak mereka untuk bersama-sama membangun negaranya. Tidak mudah bagi seseorang untuk mengampuni musuh yang telah membuat hidupnya, dan keluarganya, menderita.
Figur yang paling berperan dalam kehidupan :
Ayahnya yang mewariskan nilai-nilai komitmen dalam bekerja. Almarhum Amir Daud, mantan Pemimpin Redaksi Harian Bisnis Indonesia, yang menanamkan nilai-nilai etika sebagai jurnalis. Fikri Jufri, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Matra, yang mengajari kemampuan melobi narasumber, dan Surya Paloh yang mendorong keberanian untuk melakukan hal-hal yang kelihatannya tidak mungkin.
(Deirdre Tenawin)
NB : Tulisan saya ini pernah dimuat di majalah nafiri Desember 2011. Diposting ke halaman ini dengan revisi di beberapa bagian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H