Mohon tunggu...
Deirdre Tenawin
Deirdre Tenawin Mohon Tunggu... -

Instagram : @deirdretenawin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

20 Tahun Melanjutkan Perjuangan dan Kesucian

11 Agustus 2011   09:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:53 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari baru saja terbenam bersamaan dengan suara azan yang berkumandang di dinginnya udara malam. Jalanan tampak ramai dengan mobil-mobil yang berlalu lalang dan orang-orang yang berkeliaran mencari makanan untuk berbuka puasa. Beberapa orang meninggalkan aktivitas dan pekerjaan, sejenak merayakan kemenangan atas lapar serta dahaga sepanjang hari.

Di sudut perempatan jalan, seorang kakek duduk di trotoar sembari memandangi keindahan lampu mobil yang saling mengadu. Tak jauh darinya, sebuah gerobak kayu terparkir dengan pasrah. Di dalamnya, batang-batang bambu terikat dengan rapih dan lembaran-lembaran kain persegi panjang berkibar indah, diombang-ambingkan angin. Warna merah putih mendominasi seisi gerobak.

Sekali-kali ada mobil meminggirkan diri, kakek berusia 50 tahun ini segera berdiri, siap menyambut rejeki dari Yang Maha Kuasa. Namun tak berapa lama mobil kembali melaju, hanya minggir sejenak nampaknya. Pria tua itu kembali duduk. Tak ada keluh kesah yang mencuat.

Warman, nama kakek itu, mengaku sudah dua puluh tahun menjadi penjual musiman bendera Indonesia. Kakek asal Cirebon ini telah berjualan bendera sejak tahun 1970. Ia berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari rejeki yang lebih baik. Warman pernah berjualan bendera di Bintaro, BSD (Bumi Serpong Damai), Bogor, dan saat ini kembali lagi berjualan di BSD.

Tahun ini Warman sudah mulai menjajakan dagangan benderanya sejak tanggal 1 Agustus. Bendera yang dijajakannya ada empat macam ukuran dan jenis, mulai dari bendera segitiga warna warni yang biasa dipasang di jalan-jalan sampai bendera merah putih dalam berbagai ukuran. Harga benderanya berkisar antara Rp 15.000,00 sampai Rp 40.000,00. Sedangkan untuk bambunya dijual dengan harga Rp 25.000,00 per batang.

Bendera yang dijual Warman tidak dijahitnya sendiri, ia mengambilnya dari penyalur bendera. Dalam sehari, bendera Warman laku lima sampai enam buah. Penghasilannya dari berjualan bendera diakui tidak seberapa, tetapi Warman menganggapnya sebagai bagian dari usaha melanjutkan perjuangan para pahlawan bangsa di masa lampau. ”Namanya juga kita ikut waktu dulu jaman merdeka, kan kita lanjutin. Kalo gak lanjut kan namanya berarti putus di jalan. Soekarno dan Soeharto kan perjuangan. Nah jadi sekarang udah aman, saya kan melanjutkan,” tuturnya.

Mengenang masa kecilnya di jaman penjajahan yang penuh keributan dan perperangan di mana-mana, Warman menganggap kemerdekaan sudah selayaknya dirayakan. Sebab para pahlawan di masa lampau telah berjuang untuk keamaan bangsa dan karena mereka rakyat bisa mengibarkan bendera dengan bebas, sesuatu yang mustahil untuk dilakukan pada masa penjajahan. Oleh karena itu memasang bendera adalah salah satu cara merayakan yang penting untuk dilakukan. ”Kan sebetulnya harus masang semua. Wakil camat, wakil bupati, wakil gubernur harus turun ke balai desa dan ke RT untuk musyawarah dan menyebarkan semangat memasang bendera,” usul Warman.

Ditanya tentang arti warna merah dan putih di bendera Indonesia, Warman mengatakan bahwa merah adalah lambang perjuangan, sedangkan putih adalah lambang kesucian yang artinya bersih. “Ya, itu namanya jaman sekarang banyak yang korupsi-korupsi udah yang gede-gede. Ngambil ayam orang kecil dipenjara, korupsi yang udah bermiliyaran gak dipenjara. Ya banyak buat nyogoknya. Negara kita kan lemahnya di hukum sama duit,” jawabnya ketika ditanya tentang relevansi makna bersih di bendera Indonesia dengan carut marut korupsi di negri Indonesia dewasa ini.

Sebagai pedagang musiman, saat gegap gempita perayaan kemerdekaan sudah usai, Warman akan kembali berjualan barang-barang perabot besi yang biasa dijajakannya sehari-hari. Ia biasa berkeliling-keliling komplek perumahan untuk menjajakan sendok semen, gergaji, golok dan pisau. Akan tetapi, Warman berharap semangat dan makna kemerdekaan itu tidak lekas usai setelah perayaan berakhir. ”Ya saya mah gak punya apa-apa. Namanya juga orang kecil. Saya pengennya cuma aman. Pengennya kita udah merdeka, jangan segala-gala mahal. Pengen agak murahan dikit. Tahu lah kita orang kecil nyari seperak dua perak aja udah susah. Nyari buat bakal makan, kadang dapet kadang enggak kan. Nih dagang gini baru laku 5 biji.” Setidaknya hanya itu pesan yang bisa disampaikan seorang pedagang bendera untuk pemerintah di hari-hari menjelang kemerdekaan ini. Pesan yang entah kapan sampai ke kuping penguasa yang sedang sibuk menyambut tamu penting dari Cartagena.  (Deirdre Tenawin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun