Aku mencintai seseorang yang tak boleh aku kawini, dan jika aku nekat mengawininya maka aku dan kekasihku akan dikutuk. Bisa menjadi hewan tumbuhan atau batu besar. Semua tergantung dari orang-orang menginginkan kami dikutuk menjadi apa. Sebenarnya aku tidak pernah mempercayai soal kutukan itu. Tapi tidak dengan kekasihku. Belakangan ini dia mulai mempercayainya.
"Masih untung jika kita dikutuk menjadi pohon atau batu besar. Tapi bagaimana jika kita dikutuk menjadi hewan dan hewan itu adalah anjing. Apalagi menjadi anjing liar yang hidupnya selalu terancam." kata kekasihku penuh iba.
"Ah, imajinasi kamu terlalu berlebihan." jawabku santai. Kekasihku diam, kurasa dia tidak mendengar apa yang barusan aku katakan. Fikirannya melayang entah kemana. Wajahnya terlihat seperti menanggung beban yang begitu beratnya. Mata sayunya mengajakku untuk masuk alam fikirannya dan merasakan apa yang dia rasakan dengan mengirimkan satu bayangan ke kepalaku. Bayangan dari semua yang kekasihku takutkan. Bayangan yang awalnya begitu samar kemudian merayap menjadi sesuatu yang jelas dan semakin jelas. Bayangan jika kami berdua dikutuk menjadi hewan dan hewan itu adalah anjing. Waduh bagaimana ini.
Bagaimana jika pada malam hari saat aku dan kekasihku berjalan dilorong kota tiba tiba saja segerombolan orang mengejar kami. Memburu kami dengan teriakan-teriakan sadis yang menakutkan, sambil tangannya mengacung-acungkan golok atau kayu. Kemudian jika tertangkap, kami akan dimasukkan kedalam karung, dipukuli, disembelih dan dijadikan gulai.
Meskipun aku berteriak menerangkan siapa sebenarnya kami, tentu mereka tak akan mengerti karena yang keluar dari mulut kami, maksudku dari moncong kami hanyalah guk guk kaing kaing. Hiiiiii... Merinding juga aku membayangkan nya. Masih aku berkutat dengan bayangku, tiba tiba kekasihku mengatakan sesuatu.
"Untuk kebaikan semua kurasa kita putus saja sayang."
Kenyataan pahit harus aku terima, mulai hari ini, mulai detik ini kami putus alias berpisah alias tak lagi bercinta alias alias alias... Dalam sekejap udara terasa pengap. Nafasku sesak seperti ada batu bata yang menghantam dadaku. Minumam yang tadinya manis kini terasa pahit. Tapi aku masih berusaha sadar dan bersikap wajar. Tapi sewajar wajarnya sikapku saat itu, aku tetap saja seperti orang yang kehilangan akal saat kekasihku pergi begitu saja meninggalkanku yang masih terbengong bengong.
Tak lama kemudian ku tinggalkan cafe. Kulihat mobilku di parkiran. Kubiarkan mobil itu disana, karena kalau aku bawa pasti akan segera samai di rumah sakit atau rumah duka. Malam itu ku putuskan untuk mencari taksi. Sebuah taksi dari nama yang cukup terkenal berhenti dihadapanku. Dengan sigap supir tua itu memacu taksinya dengan kecepatan penuh. Meninggalkan cafe, meninggalkan gedung bertingkat, meninggalkan papan reklame besar terus melaju melewati lampu merah, melewati anak-anak kecil berbaju kumal tanpa alas kaki, melewati ruko yang mulai tutup hingga sampailah pada satu gerbang perumahan.
Kumasuki rumah. Sepi, tak ada seorangpun. Ku jatuhkan tubuhku dikasur. Kutatap langit langit. Dua cicak bergumul, entah sedang kawin atau berkelahi. Malam berlalu mendekati pagi, terus berjalan menuju siang dan kembali malam. Begitulah waktu berputar menurut aturan nya.
Kulewati waktu dalam kesunyian. Lingkungan tak lagi ku pedulikan. Seorang teman kantor mengatakan aku gila. Aku marah. Ku lempar dia dengan stepler. Tepat mengenai keningnya. Esoknya sebuah surat peringatan aku terima.
Berbulan sudah kekasihku pergi. Berbulan pula hidupku sunyi. Sampai suatu ketika dalam sebuah acara perjamuan tak sengaja aku bertemu kekasihku. Dalam ketidaksengajaan kami saling bertatapan. Aku tak yakin, benarkah aku bertemu kekasihku? Kutepakkan telapak tanganku pada kedua pipiku. Terasa sakit. Berarti aku tidak bermimpi. Ini bukan khayalan. Ini nyata. Sementara aku masih sibuk dengan pertanyaan apakah mimpi atau nyata, kekasihku sudah menghilang diantara tamu undangan.