Mohon tunggu...
Deni Hamkamijaya
Deni Hamkamijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

penggemar cerpen, novel, juga puisi. kadang suka nulis, kadang suka protes , ingin menjadi orang sabar , sungguh tak mudah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sejuta Kabut di Jayagiri

25 Februari 2014   00:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejuta kabut turun semalam, mengetul-ngetuk  jendela kamarku, meratap, melolong lalu menjauh,  menggaungkan kesan di hati. Bait-bait yang menyentuh, lamunanku menerawang ke bukit Jayagiri di utara Bandung, daerah Lembang. Petikan  gitarnya begitu menyentuh, syairnyapun akh..., abah Iwan Abdurahman, vokal dan petikannya.

Kabut mengapung, embun yang senantiasa turun ketika siang beranjak sore. Jajaran pohon pinus yang membentang, kami berjalan dalam diam sambil makan jagung bakar yang dibeli di pasar Lembang. Sekali dua kali kami bercakap tentang pohon pinus yang sudah tidak lagi rapat. Selebihnya membisu, menikmati jagung bakar yang dibakar setelah dilumuri  mentega. Manis dan renyah.

Sore belum selesai ketika kami sampai ke tenda di tengah-tengah bukit pohon pinus di bukit Jayagiri. Lampu-lampu rumah serta kendaraan di jalanan di kota Bandung terlihat seperti kunang - kunang di kegelapan. Kabut telah sempurna. Tak ada bulan. Hanya kedinginan yang menyungkup.

Keriuhan  dengan kawan-kawan menghentikan percakapan yang tak banyak kita lakukan. Dalam api ungun yang dinyalakan kita hanya , seolah, saling memberi isyarat ; dengan senyum serta tatapan diam-diam. Akh, betapa melayangnya hatiku saat bersitatap dengannya, perasaanku berbunga-bunga.

Akh, mengingatnya, sambil mendengarkan lagu Sejuta Kabut dari Abah Iwan Abdurahman, diteruskan dengan lagunya Seribu Mil Lebih Sedepa. Keharuan mengabut  dihatiku, menepikan hal-hal yang selama ini membuatku abai.

Merindukanmu, boleh jadi, telah menjadi sungguh. Bukan hal yang mengada-ngada , atau sekedar  pelarian. Atau apapun.  Apakah aku telah melakukan kesalahan dengan perasaanku ini. Aku ingin sekali berpikir jernih, itu sebabnya aku menyepi. Menyendiri, sambil mendengarkan lagu-lagu yang pernah kita gemari.

Tak ada yang menyedihkan dari mengingat masa lalu. Ketika ingatan itu berlari bagai kuda pacu, tanpa kita mampu mengendalikannya.

Kulihat  jendela kamar telah basah. Pandanganpun telah buram. Kabut telah turun, sementara senja telah selesai.

Masihkah ada harapan, desahku. Atau hanya menjadi kenangan, yang manis untuk dikenang. Namun pahit dirasakan?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun