Mohon tunggu...
Deni Hamkamijaya
Deni Hamkamijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

penggemar cerpen, novel, juga puisi. kadang suka nulis, kadang suka protes , ingin menjadi orang sabar , sungguh tak mudah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masih Ada Pintu yang Menunggu

29 Mei 2014   06:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:00 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kau bercerita tentang angin senja yang membawa kabar tentang seekor merpati yang tersesat, padahal cuaca sedang bergegas. "Hujan sebentar lagi tiba," seseorang berkata, entah pada siapa. Tidak mudah  memang ,berbicara dengan seseorang yang sedang dimabuk kenangan. Berhari-hari. Berpekan-pekan. Bermusim-musim.

Kenangan itu bagai angin yang datang , datang dan datang. Kadang tak kenal etika. Seperti sekarang ini, ketika sedang bercakap tentang ingatan serta cuaca yang panas sehingga orang bergegas. Mencari istirah pada secangkir kopi atau pada segelas bir.

Kenangan datang dengan wajah tanpa dosa. Senja menjadi tak berarti. Secangkir kopi membuat ingatan menjadi-jadi. Puisi berlari-lari mencari jalan pulang. Belok kanan ketemu satpam yang garang mengusir. Belok kiri ketemu pelacur yang sedang meratap kehilangan pelangggan. Lurus tanpa menikung ia hampir kehilangan harapan. Hanya kelenggangan. Sesekali raung anjing di kejauhan.

"Aku sengaja membeli kenangan di persimpangan jalan di kotamu," katanya tanpa merasa bersalah. Aku kelimpungan. Ia menatapku dengan sungguh, sementara malam telah jauh. Aku seperti jatuh. Haruskah? Aku sungguh merasa ngungun dan risau.

"Besar dan kecil setiap rejeki tentu saja perlu disyukuri, walau melalui secangkir kopi," katanya. Apalagi mendapatkan kenangan yang lama berlari-lari ke jalan-jalan yang tak bernama. Di kota yang tak ada di peta, tambahnya.

Apakah aku harus jujur kepadanya, bahwasanya rindu yang bertumbuh masih serupa angin. Membuat tanganku gemetar dan mataku basah.

Apakah harus berhenti dan selesai disini. Aku menjadi gemetar dan risau. Mudah diduga , tentu saja.

Apakah arti berhenti dan selesai untuk sebuah kenangan ? Senja telah tua. Anginnya mengajakku untuk segera pulang. Dan bergegas. Kemana? Tak ada waktu untuk sekedar berdebat.

"Jika kau mencintai rupa, bagaimana kau bisa mencintai -Nya yang tak memiliki wajah," seseorang berkata, entah pada siapa.

Ia telah kehilangan kata untuk menceritakan angin yang mengembara dari benua ke benua. Pulanglah. Masih ada pintu yang menunggu.

Aku menatapnya, merasa masgyul. Tak ada sms yang masuk.  Akh .....!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun