Membaca kembali sebuah artikel dari seorang teman dengan judul "Lapar dengan Benar" membuat saya teringat kembali dengan tulisan yang pernah saya buat sebagai bahan tugas ujian semester akhir dari mata kuliah wajib di jurusan saya tentang kebijakan-kebijakan pertahanan dan keamanan nasional dari negara-negara asing yang dapat dijadikan sebagai Benchmarking bagi Indonesia. Kala itu saya memilih Ukraina, hal ini bukan sebagai tulisan sarkasme untuk Ukraina karena sedang mengalami invasi besar dari Rusia tetapi menjadi hal yang bijak untuk mempelajari kesalahan yang pernah dilakukan oleh negara lain agar membuat kita jauh lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional.Â
Harus diakui, Ukraina memang merupakan negara yang baru merdeka pada tahun 1991 tetapi dalam masa yang masih terbilang 'muda' Ukraina telah banyak mengalami berbagai tantangan baik dalam segi ekonomi, sosial dan politik dalam / luar negeri. Namun, berbeda dengan negara-negara lain yang biasanya memiliki penguasa dengan rezim militer atau otoriter. Ukraina secara baik dapat melaksanakan pemilihan presiden secara demokratis dan dalam pergantiannya pun sesuai dengan periode masa jabatan presiden masing-masing. Hal ini tentu saja berbeda dengan kondisi pemerintahan Indonesia dan negara-negara Asia lainnya setelah menyatakan kemerdekaan mereka. Di mana asas Demokrasi itu sendiri tidak dijalankan secara maksimal selama 2 dekade atau bahkan lebih pasca kemerdekaaan.Â
Pergolakan-pergolakan dan keinginan untuk memajukan negaranya melalui ekonomi liberal secara tidak langsung telah memicu ketegangan dalam negeri Ukraina karena mau tidak mau Ukraina harus lepas dari pengaruh Rusia untuk dapat bergabung dengan Uni Eropa dalam membangun ekonomi liberal mereka. Hal ini pula yang pada akhirnya memicu aksi invasi Rusia, yang di kemudian hari terdapat pula faktor-faktor lainnya yang dianggap sebagai pemicu invasi Rusia ke Ukraina. Sangat menarik dibandingkan dengan negara lain ketika mengalami invasi militer, Ukraina justru berani melakukan bersih-bersih di kementerian keamanan, sesuatu yang sangat riskan mengingat akan semakin melemahkan kementerian keamanan Ukraina. Tetapi langkah itu dilakukan sebagai upaya memperkuat struktur lembaga atau institusi pertahanan atau keamanan nasional mereka. Presiden Zelensky sendiri menunjukan kemarahannya atas perilaku korup para pejabat di kementerian keamanan dan pertahanan Ukraina karena membuat negara Ukraina melemah dari dalam.
Cerita tersebut juga membuat saya teringat pada sebuah film berjudul "The War of Loong" di mana seorang Jenderal dari Dinasti Qing bernama Feng Zicai melakukan eksekusi terhadap salah seorang perwira tinggi di tengah perang Sino-Perancis (ca. 1885) karena melakukan korupsi terhadap anggaran militer yang diperuntukan bagi para prajurit yang sedang berperang. Tanpa menunggu kehadiran dari jaksa dan hakim pengadilan militer, Jenderal Feng langsung melakukan eksekusi di depan seluruh prajurit yang menjadi korban dari praktik korupsi  perwira tinggi tersebut. Ketika tindakan Jenderal Feng dianggap telah melawan Pengadilan Militer, para prajurit tersebut justru membela sang Jenderal dengan bersiap menghunuskan pedang. Bagi Jenderal Feng, eksekusi harus segera dilakukan untuk menunjukkan kedisiplinan militer di hadapan para prajurit muda, dan pembelajaran bahwa korupsi terhadap anggaran pertahanan dan keamanan merupakan sebuah tindakan makar apalagi ketika negara dalam masa perang.
Satu hal yang dapat diambil dari kedua contoh kasus tersebut bahwa praktik korupsi entah itu untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tak ada bedanya dengan suatu kesepakatan jahat yang bertujuan untuk melemahkan negara. Meski pernah ada seorang politikus yang mengatakan bahwa 'korupsi adalah oli pembangunan' tetapi hal ini tidaklah dapat diterapkan di Indonesia. Melihat secara budaya politik, Indonesia bukanlah negara yang memiliki pengalaman seperti Tiongkok dan Negara-negara Eropa lainnya yang memiliki pengalaman dalam menerapkan hukum anti korupsi sehingga korupsi dapat dikendalikan. Di Tiongkok sendiri, sejak masa pemerintahan Dinasti Qin (ca. 221 SM - 206 SM) hingga saat ini, memiliki aturan yang ketat terhadap praktik korupsi, sehingga tak heran jika Tiongkok memahami betul batas-batas perilaku korupsi, tahu kapan membiarkannya dan kapan harus menghentikannya.
 Berbeda dengan Indonesia yang masih tabu untuk memahami mana yang korupsi dan mana yang bukan karena setelah masa kemerdekaan sistem feodalisme masih diterapkan. Di mana bawahan segan mengingatkan kewajiban atasan, dan atasan tak segan mengambil hak bawahan. Maka dari itu agar praktik ini dihentikan perlu sebuah hukum yang tegas di Indonesia. Daripada menjerat seseorang dengan tuduhan makar yang pada akhirnya justru menimbulkan kesalapahaman pemakaian bahasa dan istilah lebih baik memberikan predikat makar terhadap perilaku korupsi, seperti pendapat Presiden Zelensky atau sejarah Jenderal Feng Zicai, Korupsi merupakan sebuah tindakan yang berusaha melemahkan negara dari dalam. Tak perlu menunggu musuh untuk menghancurkan kita, toh kita akan hancur karena nilai moral yang semakin menurun.
Artikel 'Lapar dengan Benar' mungkin hanya sebuah sarkasme dari seorang teman saya, tetapi seperti kata seorang Raja Tiran di masa lampau "Aku seorang raja, dapat memberikan makan seluruh rakyatku hingga kenyang. Tetapi hingga nyawaku diujung kepala, aku tidak dapat mengenyangkan pejabat-pejabat di depanku." yang kemudian diikuti dengan ayunan pedang seorang petugas eksekutor kepada menteri yang korup.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H