Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Tulisanmu adalah bentuk semesta yang kau mimpikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ilmu Padi di Pasar

26 Februari 2024   15:06 Diperbarui: 27 Februari 2024   11:19 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar dari ilmu padi "makin berisi makin merunduk" tetapi setelah berbelanja di pasar atau supermarket anda mungkin akan sedikit merubah isi kalimat ilmu padi "makin berisi makin meroket (harganya)" atau saya buat saja menjadi"merunduk untuk meroket"

Ya, padi telah menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia di sebagian besar daerah tetapi sejak kapankah padi menjadi makanan pokok nasional Indonesia? Dari Aceh hingga Papua, beras telah merasuk menjadi makanan pokok hingga hampir menyisihkan keberadaan pangan lokal seperti jagung, ubi, singkong, sorgum dan sagu. Saking pentingnya beras memainkan peranan penting dalam terpenuhinya kebutuhan bahan pokok masyarakat Indonesia. Bagaimana bisa tanaman yang hanya tumbuh di daerah dengan curah hujan tinggi dapat menjadi makanan pokok bagi masyarakat di daerah dengan curah hujan rendah? Jika demikian bukankah akan membuat defisit pasokan? Bukankah alam sudah menentukan setiap daerah dengan iklim yang berbeda-beda akan menghasilkan pangan yang berbeda pula? Mengapa memaksa alam bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan manusia?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya setelah mengikuti sebuah pemaparan perihal kedaulatan pangan lokal dari Pak Torry Kuswardono, selaku Direktur Eksekutif Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL) NTT di tahun 2016. Beliau memaparkan adanya kerancuan kebijakan tentang pangan lokal, seharusnya krisis pangan utamanya beras tidak terjadi apabila pemenuhan pangan dan gizi masyarakat disesuaikan dengan iklim di daerah tersebut. Sejak adanya swasembada beras, rakyat mulai dipersuasi untuk mengonsumsi beras dan melepaskan ketergantungan mereka pada pangan lokal. 

Pada akhirnya kebijakan inilah yang membuat defisit beras dalam negeri semakin parah, selain akibat perubahan iklim dan berkurangnya lahan pertanian. Inovasi pangan lokal tidak benar-benar dijalankan oleh pemerintah sebagai upaya re-sosialisasi kepada masyarakat. Tampilan pangan lokal yang disajikan oleh pemerintah daerah pun hanya dihidangkan seadanya sehingga membuat masyarakat kurang tertarik untuk mengalihkan perhatian mereka dari beras. Hal ini justru berbanding terbalik dengan postingan-postingan instagram Dicky Senda, seorang penggagas komunitas Lako'at Kujawas. Dalam postingannya, Senda selalu mengunggah masakan-masakan yang berbahan pangan lokal dengan tampilan yang lebih menarik. Anggaplah ini sebagai salah satu tindakan persuasi yang mungkin tidak memiliki dampak besar seperti kebijakan pemerintah, tetapi secara konsisten postingan-postingan tersebut justru menarik perhatian para pengguna sosial media yang melihatnya. 

Hari ini saya membaca berita tentang kenaikan harga beras yang semakin tinggi, terutama di daerah Indonesia Timur. Jika harga beras di Pulau Jawa sudah menyentuh harga Rp.14.900,- lantas bagaimana dengan kondisi masyarakat yang tinggal di Indonesia Timur? 

Harga beras yang semakin meningkat, justru akan memperburuk pembangunan di wilayah Timur Indonesia, mengingat sebagian besar wilayahnya memiliki curah hujan yang rendah, kemudian alur distribusi yang lama serta biaya distribusi yang mahal, ditambah lagi tingkat pendapatan masyarakat di wilayah Nusa Tenggara hingga Maluku yang masih rendah. Apakah semua penelitian dan keresahan mengenai kedaulatan pangan lokal harus tetapi menjadi sebuah gagasan yang tersimpan dalam tumpukan kertas riset semata? Dalam kajian-kajian seminar yang berakhir dengan kata-kata saja? Atau terbatas pada pikiran komunitas?

Belum usai tentang kepastian pelaksanaan kedaulatan pangan lokal, kembali lagi saya dibuat tercengang dengan pernyataan salah seorang peneliti dari BRIN tentang Hilirisasi Sorgum yang saya kutip dari website BRIN : 

melihat harga sorgum selalu meningkat seperti di tahun 2023, per kilogram sorgum seharga 10.500 - 21.000 rupiah. "Artinya, hal tersebut suatu potensi yang besar dan menjadi suatu peluang,"

Sorgum bahkan belum dikonsumsi secara massal, alat produksinya belum diberikan tetapi mereka sudah berbicara tentang profit ekonomi. Apakah lembaga negara sekelas BRIN harus berbicara tentang profit ekonomi dalam hal pemenuhan kebutuhan rakyat? Sementara Komunitas-komunitas lokal justru sudah mencari cara agar pangan lokal dapat digalakan kembali sebagai makanan pokok, dan strategi membuat masyarakat melepaskan ketergantungan mereka pada beras.

 

Berbicara Kedaulatan pangan sendiri, ada pengertian menarik yang saya digaris bawahi dari Kementerian Pertahanan, Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Pengertian ini seharusnya sudah bisa memberikan arahan bagi pengembangan kedaulatan pangan lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun