Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Tulisanmu adalah bentuk semesta yang kau mimpikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Art of War: Basa-basi Blusukan

8 Januari 2023   22:28 Diperbarui: 8 Januari 2023   22:52 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada DKI Jakarta 2012 yang lalu benar-benar menjadi suatu pembaruan dalam strategi kampanye di ibukota. "Blusukan" istilah serapan dari bahasa Jawa yang identik dengan sosok Pak Jokowi Widodo saat mencalonkan diri sebagai Gubernur ibukota kita, sebenarnya cara ini merupakan keberlanjutan dari kebiasaan beliau ketika menjabat sebagai walikota Surakarta (2005-2012). Beliau bersama pak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berhasil memenangkan Pilkada DKI Jakarta, mengalahkan Pak Fauzi Bowo sebagai kandidat pertahana. 

Spotlight media massa sontak mengarah pada beliau, mulai dari program bantuan berkelanjutan seperti Kartu Jakarta Pintar hingga kebiasaan blusukan beliau. Karakter yang beliau bangun cukup positif di mata masyarakat, sehingga menghantar beliau menjadi Presiden Indonesia. Inilah yang dikatakan dari batu-batu kerikil yang dikumpulkan dapat membuat sebuah Menara kokoh dan Pak Jokowi Widodo berhasil melakukannya, bahkan menjadikan hal tersebut sebagai identitas. Ya... Media Massa, Blusukan dan Program Kerja.

Berangkat dari identitas pemimpin yang dibentuk oleh Pak Jokowi Widodo, memunculkan video-video viral dengan judul yang menarik simpati masyarakat seperti "Gubernur (blabla) menangkap basah praktek pungli di Dinas (blabla)", "Walikota (blabla) marah karena pasien BPJS diabaikan" dan lainnya. Benar, video-video tersebut menimbulkan simpati saya dan menyajikan pilihan kalau-kalau sosok seperti mereka yang akan menggantikan Pak Jokowi Widodo nanti. Tetapi setelah menjadi seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya disadarkan bahwa media massa pun dapat menjadi media ilusi dalam membentuk karakter seseorang. 

Teori Dramaturgi, Teori Jarum Hipodermik, Kultivasi, Konglomerasi Media dan sebagainya memberikan sedikit gambaran bahwa kita harus berhati-hati dalam menyimak sajian media massa. Pilpres 2014 memberikan sebuah gambaran bahwa yang jarang blusukan bukanlah calon pemimpin yang baik, yang jarang marah-marah di tengah sorotan kamera bukanlah pemimpin yang tegas. 

Bahkan sebelum 2014, hampir tak ada video-video yang menampilkan pemandangan seperti itu, pejabat yang membentak tenaga medis karena beristirahat, membuat heboh rumah sakit pada dini hari. Pada akhirnya semua itu berakhir saat kamera dimatikan dan tidak menimbulkan perubahan menyeluruh dalam perbaikan sistem pemerintahan mereka. Anehnya, bahkan setelah saya sadari hal seperti ini, masih banyak masyarakat yang menggantungkan pilihan mereka berdasarkan sorotan kamera. 

Entah kebetulan atau bukan, salah seorang kenalan saya pernah membagikan fakta menarik yang dia temukan. Seorang tokoh publik (anggaplah demikian) yang membangun citranya melalui spotlight media sosial terkesan tegas, sederhana dan memperhatikan kesejahteraan bawahannya ternyata tidaklah demikian. 

Beliau pernah memanfaatkan bantuan untuk korban bencana dari salah satu bank ternama, mengganti tulisan nama bank tersebut dengan menggunakan namanya, kemudian diunggah ke Channel Youtube instansinya, sehingga dapat dipastikan ini merupakan pemanfaatan inventaris milik negara demi mendapatkan keuntungan pribadi (semisal simpati masyarakat). Sebuah fenomena yang mematahkan strategi perang ala Sun Tzu.

Ya, politik itu ibarat perang, siapa yang lebih dahulu menduduki medan perang dan menunggu musuh makan kemenangan ada di tangannya. Blusukan adalah perencanaan yang fenomenal dan telah identik dengan Pak Joko Widodo. Benar, siapa pun bisa berhasil menggunakan strategi politik Pak Jokowi, tetapi bisa pula gagal karena mobilisasi media sosial semakin padat dan selalu ada sumber informasi pembanding yang bebas diakses oleh siapa pun.

Kandidat calon presiden 2024 harus bekerja keras mencari jalan baru karena mereka tak bisa lagi menggunakan cara yang sama dengan Pak Jokowi. Masyarakat telah bosan dan berusaha mencari variasi pemimpin yang baru. Mungkin mereka lebih senang dengan gaya "Talk Less, Do More" yang berkampanye melalui sikap dan perilaku bukan teriakan dan bentakan. Mungkin mereka merenungi saran Sun Tzu :

Ketika saya meraih kemenangan, saya tidak akan mengulangi taktik yang sama, tetapi melihat situasi dengan cara yang tak terbatas. Strategi militer sama seperti air yang mengalir. Seperti air membentuk alirannya mengikuti dataran yang dilewati, pasukan meraih kemenangan tergantung pada musuh yang dihadapi. Oleh karena itu, siapa yang dapat memodifikasi taktik berdasarkan keadaan musuh akan meraih kemenangan sejati.

Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 memberikan sedikit rekam jejak yang buruk bagi beberapa kandidat yang pernah terlibat dalam dua pemilihan tersebut terutama yang menggunakan isu mayoritas dan minoritas. Kandidat-kandidat tersebut harus bekerja lebih keras karena dari peristiwa tersebut rakyat Indonesia hampir terpecah belah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun