Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Tulisanmu adalah bentuk semesta yang kau mimpikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merdeka Dahulu, Menyesal Kemudian

25 Oktober 2020   17:45 Diperbarui: 25 Oktober 2020   18:01 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya baru saja membaca sebuah artikel yang menyindir kondisi ekonomi Timor Leste saat ini. Katanya, Timor Leste hanya mendapatkan kemerdekaan saja bukan kesejahteraan layaknya negara merdeka lainnya. Secara tersirat inti artikel tersebut mengatakan bahwa masyarakat Timor Leste akan hidup lebih baik, jika tidak memisahkan diri dari Indonesia. 

Di masa referendum tahun 1998, usia saya tidak lebih dari 4 tahun. Tetapi masih saya ingat gerutu bapak saya ketika mendengarkan berita bahwa hasil referendum memenangkan kemerdekaan bagi Timor Leste, katanya "makanya jangan bangun satu pulau saja. Kita punya Cendana, dong ambil buat kasi kaya dong pung diri, baru kas tinggal kita miskin melarat." Ternyata bapak saya menyindir negaranya sendiri, Indonesia. 

Tetapi tidak dengan mama saya yang merasa Timor Leste seharusnya tetap bersama Indonesia karena Timor Barat telah menjadi bagian dari Indonesia (Politik beda negara bisa jadi penghalang bagi hubungan saudara, mungkin itu maksud mama). Sanak famili dan kenalan kami yang datang dari Timor Timur pasca kemerdekaan, lebih banyak menceritakan kengerian pembantaian dari pada pembangunan di Timor Timur semasa masih berada dalam kekuasaan Indonesia. 

Berdasarkan cerita tersebut dalam pikiran saya kondisi Dili tak jauh beda dengan kondisi Kabul. Apalagi di tahun 2003 tayangan di media massa hanya menampilkan kondisi kota Kabul yang kian porak poranda membuat saya berpikir bahwa Dili pun demikian. 

Saya bersyukur tinggal di Indonesia karena merasa aman dibandingkan harus tinggal di negara yang baru merdeka. Logika anak kecil saya membenarkan perkataan mama saya bahwa tidak ada enak-enaknya memisahkan diri dari Indonesia. 

Setelah berkuliah, beberapa dosen saya sempat menyinggung tentang eksploitasi Cendana di masa orde baru. Bagaimana masyarakat dari Timor disuruh menanam cendana tapi pemerintah yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar. 

Logika saya sebagai remaja membenarkan pendapat bapak saya kala itu. Bahwa pisahnya Timor Timur dari Indonesia adalah konsekuensi dari kerakusan rezim Orde Baru. Lalu bagaimana dengan dengan kondisi ekonomi Timor Leste saat ini? 

Bagi saya itu wajar, selayaknya negara baru tentu kondisi ekonomi, sosial dan politiknya belum kuat. Sama seperti Indonesia di awal kemerdekaan, katanya Indonesia merdeka (memproklamasikan diri) dengan modal nekat. Mereka hanya merancang Undang-Undang Dasar tanpa tahu harus memulainya dari mana. 

Kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu, hanya modal napas. Negara mana yang mau meminjamkan uang di masa itu untuk Indonesia? Indonesia memenuhi syarat sebagai negara yang di blacklist dari Pinjaman Modal Asing. 

Sampai akhirnya pemerintah kita mengambil jalan yang terbilang "kotor" untuk memenuhi kebutuhan negara, melalui penjualan obat-obat terlarang di wilayah segitiga emas. 

Secara moral mungkin para pemimpin kita waktu itu salah, tetapi secara ekonomi dan politik mereka melakukan hal yang tepat (bukan benar). Jika negara kita pernah melewati fase seperti itu, apalagi negara Timor Leste? Keluar dari ekonomi, kita sebut saja korupsi sebagai penyebab keterpurukan Timor Leste. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun