Ramadhan adalah bulan suci yang penuh kebaikan, bulan yang sangat dinantikan kedatangannya oleh umat Muslim di seluruh dunia. Di bulan ini, banyak orang berlomba-lomba melakukan kebaikan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Mereka menjalankan ibadah puasa sebagai wujud pengendalian diri dan ketakwaan kepada Allah SWT. Selain itu, di bulan Ramadhan, umat Muslim juga giat dalam melakukan amal kebajikan seperti bersedekah, berbagi dengan sesama, memperbanyak ibadah, membaca Al-Qur'an, serta memperbanyak doa dan dzikir. Semua ini dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, membersihkan jiwa dan hati dari dosa, serta meningkatkan kualitas spiritual dan moral.
Tidak hanya itu, bulan Ramadhan juga merupakan waktu yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan sesama, memaafkan kesalahan orang lain, serta menumbuhkan rasa empati dan kepedulian terhadap yang membutuhkan. Spirit kebersamaan dan solidaritas dalam menjalankan ibadah puasa juga memperkuat ikatan sosial antar umat Muslim. Selain itu, di bulan ini, umat Muslim juga berkesempatan untuk merenungkan diri, mengevaluasi perbuatan dan perilaku masa lalu, serta menetapkan niat dan komitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan.
Bulan Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang meningkatkan kesadaran akan kebutuhan spiritual dan sosial. Ini adalah waktu untuk memperbaiki diri, memperdalam hubungan dengan Allah SWT, dan memperluas cakrawala kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menghayati nilai-nilai kebaikan dan keikhlasan selama bulan Ramadhan, umat Muslim diharapkan dapat membawa dampak positif yang berkelanjutan dalam kehidupan mereka dan masyarakat secara luas.
Tetapi semakin beranjak dewasa, beberapa orang telah kehilangan euforia Ramadhan. Sebagai contoh, para mahasiswa yang berada di perantauan seringkali merasa terpisah jauh dari keluarga mereka. Mereka merindukan momen berbuka dan sahur bersama keluarga, yang biasanya penuh dengan kehangatan dan kebersamaan. Namun, kini mereka harus merasakan kesendirian saat berbuka dan sahur di kos-kosan, jauh dari sentuhan ibu yang biasanya menyiapkan hidangan lezat di atas meja makan. Makanan dan minuman yang disajikan oleh ibu, yang biasanya disesuaikan dengan selera anak-anaknya, menjadi sesuatu yang amat dirindukan.
Tentu saja, kehilangan ini tidak hanya sebatas pada aspek fisik makanan, tetapi juga pada rasa kebersamaan dan kedekatan dengan keluarga. Mahasiswa perantauan seringkali merasakan kesepian dan kerinduan akan suasana hangat di rumah saat Ramadhan. Bahkan ketika tiba saatnya lebaran, ada yang tidak dapat pulang karena keterbatasan biaya atau alasan lainnya. Mereka harus merayakan hari besar tersebut sendirian di kos-kosan, tanpa kehadiran keluarga dan keramaian yang biasanya menyertai momen lebaran.
Selain itu, ada juga perubahan dalam kebiasaan menjelang Hari Raya. Tradisi seperti persiapan baju dan pembuatan kue lebaran bersama orang tua tidak dapat mereka nikmati. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa momen-momen berharga ini terlewatkan karena keterbatasan jarak dan situasi ekonomi. Semua hal ini menambahkan kesedihan dan kehilangan pada pengalaman Ramadhan dan Hari Raya mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengalaman ini membawa dampak emosional yang mendalam bagi para mahasiswa perantauan. Mereka memerlukan dukungan ekstra untuk menjalani masa-masa ini dengan tabah dan tetap menjaga semangat serta keimanan selama bulan Ramadhan. Meskipun jauh dari keluarga, mereka tetap dapat merasakan keberkahan dan kehangatan Ramadhan melalui koneksi dengan sesama mahasiswa, komunitas tempat tinggal, dan doa serta dukungan dari keluarga yang berada di jauh sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H