Sebenarnya ini kisah yang dialami oleh sahabat penulis, (alm) Ustad Yadin Burhanudin. Orang yang mampu melewati ujian berat yang diberikan oleh Allah. Bayangkan saja Allah timpakan gangguan ginjal yang menahun hingga harus dilakukan cuci darah. Padahal yang bersangkutan termasuk orang di garda terdepan saat bencana Tsunami menimpa Aceh (2004) lalu yang dikirim MQFM , Radio milik Pesantren Daarut Tauhid Kota Bandung termasuk mengangkut jenazah-jenazah yang bertebaran di jalan kala itu.Â
Kepulangannya dari Aceh tersebut tak pernah mempelihatkan sesuatu yang akan membuatnya sakit. Kang Yadin saat itu sehat-sehat saja dan pulang disambut dengan senyum manis isteri dan puteri tunggalnya, Alifa Mustikaning Qalbi. Beliau tampak sehat dan juga bertubuh gempal sehingga takkan pernah ada yang menyangka kalau lelaki kalem ini harus mengalami penyakit ginjal yang menahun sehingga harus melakukan cuci darah. Â Â
Sepulang dari sana tepatnya tahun 2005 dalam sebuah kesempatan beliau sedang mengendarai motornya tiba-tiba saja penglihatannya kabur dan hampir jatuh pingsan. Beruntung ia masih memiliki kesadaran hingga tidak sampai terjatuh. Kemudian diperiksa di sebuah rumah sakit swasta hingga dokter memvonis ada penyakit gangguan ginjal dideritanya dan memaksa dirinya harus cuci darah. Berat memang akantetapi ketika takdir sudah ditentukan oleh Allah maka semua itu mesti diterima dengan keikhlasan. Â Â
Jelas semua itu bukan hal mudah tetapi karena dengan kenyataan itu maka sudah pasti kondisi tubuhnya akan menurun apalagi saat itu memiliki puteri yang masih kecil. Saat itu Yadin berkeluh kesah dengan kenyataan yang dialaminya terhadap isterinya. Sang isteri yang bernama Ela tak pernah ragu untuk tetap mendampingi sang suami tercinta. Baginya, jangankan yang sakit yang sehat dan segar sekalipun akan tetap mati kalau memang sudah waktunya. Ela sangat berharap jika sang suami bisa berumur panjang karena masih memiliki puteri yang masih kecil dan jangan sampai menjadi yatim jika suaminya lebih cepat pergi.
Sedih sebagai isteri Ela alami dan itu fitrah terjadi apalagi dia seorang wanita. Semenjak dinyatakan harus cuci darah seminggu dua kali jelas Ela harus menyiapkan fisik dan kesiapan psikologinya menghadapi hal itu yang biasa dilakukan dan membutuhkan lima jam untuk satu kali cuci darah. Ela tetap mendampingi sang suami ketika kegiatan cuci darah itu dilakukan di sebuah rumah sakit swasta di Kota Bandung. Ela sadar ini takdir yang telah ditentukan oleh Allah dan untuk aktvitas cuci darah ini rupanya ia mendapatkan kesempatan gratis melakukannya karena saat itu ada program dari Pmerintah yang disebut Jaminan Kesehatan Masyarakat bagi amsyarakat yang tidak mampu. Sehingga Yadin dan Ela membayarnya dengan menyerahkan fotocopy yang di dalamnya terdapat persayaratan yang dbutuhkan. Â
Dengan seringnya melakukan kegiatan cuci darah itu akhirnya menjadi terbiasa dan sudah tak menjadi beban lagi ketika telah dilakukan beberapa kali. Hebatnya, Yadin sendiri adalah seorang dosen yang tak pernah absen untuk memberikan kuliah di hadapan para mahasiswanya padahal perjalanan dirinya menggunakan motor yang dimilikinya itu kurang lebih bolak balik sekitar 30 km. Sehingga penyakit itu tak pernah menghalangi dirinya untuk tetap menjalani profesinya. Kendati demikian tentu saja perjalanan menjadi lama karena Yadin tak bisa mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Â
Selain dosen, Yadin pun adalah seorang reporter MQFM yang selalu menyiarkan aktvitas walikota atau kegiatan yang dilakukan di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Menariknya, Yadin adalah figur yang sederhana yang hangat ketika bertegur sapa dengan siapapun. Itulah kelebihannya sehingga beliau bisa  bergaul dengan siapa saja sehingga pergaulannya cukup luas. Ternyata Kang Yadin pun termasuk penulis yang rajin menulis artikel. Maka di sela-sela kesibukannya selalu sempatkan pula untuk menulis dan termasuk seorang penulis yang produktif pula. Kang Yadin menikmati dengan apa yang dilakukannya secara rutin walaupun dalam keadaan sakit seperti itu.     Â
Menariknya, Kang Yadin ini bersama penulis dan dua rekan lainnya, Eko Risanto serta Asep Budi Heryanto mampu menyelesaikan penulisan buku biografi mantan walikota Bandung, Dada Rosada dengan judul "Wagiman, Walikota Gila Taman" (2008). Juga Kang Yadin adalah orang yang dapat dikatakan baik terhadap penulis. Di kala dirinya tak mampu memenuhi kebiasaannya mengisi tulisan berbentuk artikel motivasi di website Promaag maka itu pekerjaan kemduian diserahkan kepada penulis seperti juga dilakukannya untuk majalah AL HADID. Dia sudah tak sanggup memenuhi itu karena berbenturan waktu serta kondisi yang tak mungkin memeras otak dan juga fisiknya. Maka kemduian diberikan kepada penulis hingga penulis mendapatkan kesempatan mendapatkan rezeki dari hal itu. Â
"Ketika Sakit Tak Kunjung Menaklukan Derita Dengan Senyum" Penerbit Pustaka Al Kautsar adalah buku yang ditulisnya yang mengisahkan dirinya yang terkena penyakit ginjal kronis dan harus melakukan cuci darah yang bisa menjadi inspirasi bagi pembaca seperti apa dirinya menghadapi kenyataan seperti itu tetapi dirinya tetap tenang menjalaninya dan tak pernah mengeluh dengan kenyataan itu. Dapat dibayangkan oleh kita semua, tanpa ketulusan dan keikhlasan serta kepasrahan kepada Tuhan mana mungkin orang seperti dirinya akan sanggup menghadapi kenyataan di mana mesti cuci darah sebanyak 1400 kali dalam rentangw aktu 15 tahun. Luar biasa mungkin kata orang-orang kepadanya dan hal memang ebnar-benar terjadi dan bukan isapan jempol belaka. Â Â
Menariknya, kedua suami isteri itu tak pernah ada kata bosan melakukan hal yang sebenarnya sangat dihindari oleh orang-orang. Semua itu dihadapi dengan penuh senyum dan tak pernah menyalahkan Tuhan yang telah memberinya penyakit seperti itu. Biar demikian tetapi untuk pendidikan puterinya itu tetap menjadi skala prioritas hingga berdasarkan kabar yang didapatkan ternyata puteri almarhum itu kini kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Kota Bandung mengambil jurusan psikologi dan didapatkan melalui seleksi beasiswa jalur KIP Kuliah. Sungguh saat sakit pun Kang Yadin selalu mengutamakan puterinya untuk tetap bersekolah karena hal itu adalah sesuatu yang penting untuk kehidupannya.
Saat itu kalau tidak salah sekitar minggu ketiga bulan Oktober 2019 tiba-tiba saja penulis mendapatkan pesan berantai kalau Ustad Yadin Burhanudin telah menghembuskan nafas terakhirnya  di RS Muhamadiyah Kota Bandung tepatnya waktu itu Hari Jumat. Tentu saja hal itu meninggalkan duka yang begitu dalam bagi penulis karena sahabat yang selama ini selalu dekat kini telah berpulang dan kemudian dikebumikan di pemakaman Porib, daerah Caringin, Kota Bandung hingga ia tak pernah merasakan sakit lagi. Selamat jalan Kang Yadin.