Perusahaan tambang harus angkat kaki dari desa kami
"Perusahaan tambang harus angkat kaki dari desa kami", kalimat tegas dan jelas yang terucap dari mulut wanita yang terlahir dari rahim kehidupan desa, melli biasanya dia dipanggil masyarakat desanya, sosok yang terlahir 30 tahun silam yang dibesarkan oleh adat istiadat dua desa, ia dilahirkan didesa Pasar Talo dan Membangun keluarganya didesa Penago Baru, kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.
Harapan warga desa untuk memiliki kesamaan hak dengan masyarakat lainnya dibumi Indonesia, harapan yang dibunuh secara paksa oleh perusahan tambang, "kehidupan kami berubah drastis semenjak perusahaan tambang Famiaterdio Nagara (PTFN) masuk kedaerah kami, debu-debu dan asap pabrik dari aktifitas perusahaan sangat mengganggu kami. Tidak Cuma itu, semenjak 2006 ketika PTFN telah beroperasi, Remis yang biasanya sangat mudah kami temui dan dijadikan salah satu sumber makanan didesa kami hilang bak ditelan bumi, penjajah belanda saja mempunyai sebuah rencana untuk membalas budi terhadap kaum pribumi, tapi perusahaan tambang ini lebih gila dari sang kompeny" jelasnya, dengan raut muka geram menahan marah.
Sosok ini menjadi symbol dari pergerakan kelompok wanita dalam menyelamatkan lingkungan desanya dari ancaman Perusahaan tambang dan pejabat pemerintah rakus uang, sosok yang sangat mudah dikenali dalam aksi demonstrasi tolak tambang, dengan ikat kepala merah bertuliskan KMPL (kelompok masyarakat peduli lingkungan) sambil menggendong anaknya yang masih kecil, berteriak lantang menjelaskan kenapa perusahaan tambang harus angkat kaki dari desanya.
Dimulai dari tahun 2006, Empat tahun lamanya dia berjuang bersama masyarakat desa lainnya menuntut berhentinya aktifitas pertambangan PTFN, halangan rintangan bahkan ancaman pihak perusahaan yang didapati tidak pernah membuat Ia patah arang, mundur kebelakang tak ada dalam kamus hidupnya. Bahkan sogokan uang sebesar 150 juta yang ditawari pihak perusahaan ditolak secara mentah-mentah oleh Ibu dari 3 orang anaknya : Joko (11 Tahun), Atik (9 tahun), Agung (5 Tahun). "Uang tak dapat memberi jaminan bagi masa depan ke 3 anak saya, uang tidak memberi jaminan kepastian hidup putra-putri desa kami, Keselamatan desa Penago Baru dan Desa Rawa indah yang menjadi penopang utama kehidupan masyarakat kami, jadi pergilah kalian perusahaan tambang PTFN dari desa kami" ucapnya berapi-api ketika pihak perusahaan menemui keluarganya.
Perusahaan pertambangan PTFN tidak pernah memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, "keberadaan PTFN bisanya Cuma memecah belah persatuan warga desa, tidak ada sumbangsih nyata seperti yang digemborkan oleh pemerintah dalam membantu mensejahterakan warga" katanya lirih kepada media ketika memberi penjelasan tentang keberadaan pertambangan PTFN.
Melli meyakini, bahwa telah terjadi konspirasi antara PTFN dan pemerintah kabupaten dalam melakukan aktifitas pertambangan didesanya, sama sekali tak ada tanggapan dari pemerintah kabupaten, "jangankan berbicara memihak kepentingan masyarakat, mendengarkan keluhan masyarakat saja mereka tak ingin. Pemerintah kabupaten pura buta pura tuli" selorohnya ketika masyarakat menemui pemerintah kabupaten.
Perlahan dan pasti, awan hitam aktifitas pertambangan yang menyelubungi desa Penago Baru dan Rawa Indah mulai terhembus angin, Gerbang keberhasilan perjuangan masyarakat desa berhasil digapai ketika diawal tahun 2010, perusahaan tambang menutup aktifitas pertambangan didesa penago baru, "kekuatan persatuan masyarakat desa berhasil menutup aktifitas pertambangan PTFN, kami berhasil menyelamatkan desa, menyelamatkan anak cucu masa depan kami dari ancaman bahaya tambang" ucapnya bersemangat.
Tak ada yang berubah dari dirinya, ketika pertama kali berjumpa 5 tahun silam. Sosok ibu desa sederhana, yang mampu memelihara kobar semangat perlawanan wanita desa dalam memperjuangkan hak untuk hidup, hak manusia merdeka yang hidup dan cinta kepada desanya.
Kami berjuang mempertahankan hak-hak kami...
Pinggir pantai Seluma, Rawa indah dipenghujung tahun 2008. Sangat cekatan dan terlatih, tangan itu sibuk menurunkan tandan buah sawit dari atas mobil ketimbangan, lalu memisahkan tandan sawit berdasarkan ukuran buah sawit. Tetes keringat jelas terlihat, dan sekali kali diseka dengan pakaian lusuh yang digunakan membalut tubuhnya. Tak ada keluhan yang terlontar dari bibir hitamnya ketika tangannya tertusuk duri, atau kakinya yang tertimpa tandan sawit yang terlepas rengkuhan tangannya. Mak merry, ia dipanggil oleh orang sekitar desanya, ia bersama sang suami tercinta telah dari tahun 2004 Menekuni pekerjaannya sebagai pengumpul buah sawit dari perkebunan warga desanya.